Kamis, 21 Maret 2013

cerpen Rian and Rain








RIAN AND RAIN

          Kupetik gitarku sambil melantunkan lagu-lagu, seakan jiwaku terbawa dalam senandung-senandung sunyi lirik-lirik lagu itu. Tiba-tiba seseorang menepuk punggungku dari belakang, “Rain, berangkat sekarang”, segera kuletakan gitarku diatas ranjang dan segera beranjak meninggalkan kamar  mungilku. Seperti biasa, aku berangkat sekolah bersama Rian, kakakku sekaligus saudara kembarku. Namaku Rainy, Mama memberi nama itu karena kami dilahirkan dimalam saat hujan turun sangat deras. Dan ia pun tak menyangka, Tuhan akan memberikanny seorang gadis dan laki-laki yang sangat mirip dalam beda waktu hanya 2 menit. Itu adalah kebahagiaan tak ternilai bagi Mama.

Kini umur kami 16 tahun, secara biologis kami adalah remaja yang sedang memasuki masa puber. Rian lebih terlihat cuek padaku, ia lebih suka mendengarkan music dan sibuk dengan kegiatan basketnya, berangkat ataupun pulang sekolah ia selalu berjalan didepanku dengan santai seolah ada dalam dunianya sendiri. ”Rian, pelan-pelan”, aku selalu berteriak begitu disaat kami telah terpisah jauh, ia pun berhenti dan hanya menoleh sambil tersenyum. Ia jarang bercerita padaku tentang hal-hal pribadinya, walaupun sebagai seorang adik aku merasa dikucilkan, namun aku tahu ia adalah kakak yang baik.
Karena sedikit penasaran dengannya, aku nekat menanyai teman-teman sekelasnya, “menurut kalian, Rian dikelas kayak gimana?”, teman-temannya dengan ramah menceritakan berbagai hal, namun yang paling membuatku tertarik adalah satu hal, “hah, Rian suka sama Lucy? Sejak kapan?” aku kaget setelah mendengar cerita mereka. Seorang kakakku yang polos bias menyukai seorang gadis. Aku jadi tertarik untuk semakin mengusiknya, aku ingin ia bahagia.
“Rian”, sepulang sekolah aku menghampirinya dan mulai mengajaknya berbicara. Ia melepas sebelah earphone nya dan menoleh kearahku, “,ada apa? Tumben kamu ngajak aku ngobrol”. “hmm… aku Cuma ingin tahu, apa kamu bener suka sama Lucy?”, tiba-tiba Rian berhenti, raut wajahnya menyiratkan suasana hatinya yang gundah. “maaf Rian, aku…”, “bener, Rain. Lalu?”, aku pun panic, tak tahu harus berkata apa lagi, aku yakin Rian tak ingin membahas ini, “gapapa, Cuma Tanya, hehe”, jawabku ragu-ragu karena tak tahu harus berkata apa, “besok aku ikut tanding, nonton ya, aku udah beliin tiket buat kamu” katanya sambil tersenyum, hatiku terasa sedikit lebih hangat, “okee”.
Esok harinya, aku tak sabar melihat Rian betanding, ia adalah kapten tim basket sekolah kami, dan tak jarang meraih juara. Dia dikenal murid seluruh sekolah, dia manis dan juga cerdas, tak jarang ada gadis yang mengejar-mengejarnya. Pritt…. Suara peluit tanda pertandingan telah mulai, Rian dengan sigap dapat merebut bola dan akhirnya berhasil mencetak skor pertama.
10 menit telah berlalu, sekolah kami sudah berhasil mencetak skor lebih tinggi dari sekolah lawan. Saat ronde kedua akan dimulai, tiba-tiba Rian berhenti berlari, wasit membunyikan peluit dan Rian segera digantikan oleh pemain lain. Hatiku terasa tak nyaman, aku segera berlari kearah Rian. “Rian kenapa?” tanyaku dengan lembut, wajahnya sudah terlihat pucat. “Rainy…” ia menatap kerahku, kemudian pingsan. “Rian!”
Beberapa hari setelah kejadian itu, Rian menjadi sangat pendiam, ia jarang tersenyum lagi padaku, ia hanya berbicara jika benar-benar perlu. Aku merasa kesepian. Kini ia menderita kanker otak, yang membuatnya sangat terpukul. Aku merasakan kesedihannya, aku mengerti perasaannya, namun aku tak tahu aku harus berbuat apa. Suatu hari aku memberanikan diri mengetuk kamarnya dan menyapanya, “Hai Rian”, ia menatapku tanpa ekspesi, aku duduk diranjangnya dan melihat sekilas, “Rian, bolehkan aku bernyanyi untukmu” kataku sambil tersenyum padaku, “tidak, kembali saja kekamarmu”, jawabnya ketus. Aku sedikit jengkel, segera aku tinggalkan kamrnya dan berlari kekamarku sambil menangis.
Sejak itu aku selalu berfikir untuk membuat Rian mulai tersenyum lagi, aku tak bias tinggal dengan seseorang yang selalu bersikap dingin padaku, dunia terasa sangat sepi, bahkan terasa mati. Saat aku temukan ide, aku akan bawa Lucy pulang dan mengobrol dengan Rian, aku tak tahu apakah Lucy tahu Rian mencintainya atau tidak, namun taka da salahnya mencoba.
“Lucy” aku memanggilnya kekelas saat pulang sekolah, “ada apa Rain?”, kami pun mengobrol sebentar, Lucy adalah anak yang yang baik dan aku yakin ia pasti mau membantuku. “baiklah, sejak tahu dia sakit aku belum sempat menjenguknya”, “yess”, teriakku dalam hati, Lucy tolong buat Rian tersenyum.
“kenapa kamu kesini?” Tanya Rian ketus pada Lucy saat kami telah sampai dikamarnya, “Lucy ingin menjengukmu Rian” belaku pada Lucy, namun Rian tetap diam. Aku pun meminta maaf pada Lucy, dan akhirnya Lucy pun pulang dengan perasaan desikit kecewa, dari tatapannya sepertinya Lucy tak memiliki perasaan apapun pada Rian, namun apa boleh buat, entah apakah Rian masih mencintainya juga atau tidak. Karena jengkel aku berlari kekamarnya, sejak divonis oleh dokter bahwa ia menderita kanker otak stadium 3, ia mulai jarang masuk sekolah, ia pun keluar dari tim basket, ia tak bias lagi beraktivitas seperti biasa, ia seperti kehilangan semangat hidup. Dan aku ingin mengembalikan semangatnya yang hilang itu.
“Rian!” bentaku saat masuk kekamarnya, ia hanya menolehku. “aku tahu kamu menyukainya, tapi mengapa kau lakukan itu padanya, ia sudah dating kesini hanya untuk menjengukmu”, “lupakan apa yang pernah aku katakan” jawabnya lugas.”Rian, aku mengerti kau sangat terpukul atas apa yang terjadi padamu, kamu mulai jarang tersenyum, tahukah kau seberapa aku merindukan senyumanmu? Aku kesepian disaat harus berjalan sendirian sepulang sekolah” air mataku mulai menetes, aku berjalan mendekati Rian yang sedang duduk ditepi jendela. “kamu ingat, disaat kita kecil kamu selalu menangkapkanku seekor kupu-kupu dihalaman. Kau selalu bilang itu adalah hadiah yang bias kauberikan, aku selalu senang menerimanya, walaupun akhirnya kau akan melepas kupu-kupu itu kembali, dank au akan katakan bahwa itu adalah hadiah yang kau berikan padanya karena telah membuatku tersenyum”, raut wajah Rian mulai melembut, aku menunduk dan mulai menagis dipangkuannya. “Rian, kembalilah, aku ingin Rian yang dulu, Rian yang selalu ada untukku, Rian yang selalu tertawa, Rian yang selalu melindungiku”, “Rainy” Rian mulai menyebut namaku, aku merasalan ia mengelus kepalaku perlahan. “Rian, apapun yang terjadi tolong janganlah pernah membenciku, aku menyayangimu, aku sangat menyayangimu”, “aku juga menyayangimu Rainy, dam maaf karena telah membuatmu menangis” kata Rian lembut. Aku menatap wajahnya, Rian tersenyum, akhirnya, aku dapat melihat senyum itu kembali, aku bangkit dan memeluknya. Kehangatan seorang saudara kembar, seorang kakak yang selalu ada untukku.
Sejak itu Rian sudah kembali seperti biasa, ia bersikap seperti dulu, seolah penyakitnya sama sekali tak menjadi beban untuknya, walaupun terkadang aku harus mengingatkannya untuk minum obat, atau menemaninya check up kerumah sakit, aku tetap bahagia apapun akan kulakukan untuknya. Ia mulai dekat dengan Lucy, dan sering mengobrol bersama dirumah, pasti akan diceritakannya apapun yang terjadi disekolah, setiapmalam tiba, aku akan kekamar Rian sambil mendengar kisah-kisahnya, kami akan tertawa bersama dalam bahagia.
“Rain” sesaat ketika sore hari ia mengetuk pintu kamarku dan mengharmpiriku, “Ada apa Rian?” tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah toples dari balik punggungnya, aku tersentak sejenak, “kupu-kupu bersayap merah” kataku terpana, kupu-kupu paling indah yang pernah ditangkap Rian untukku.
***
“Rainy, ayo berangkat” Mama memanggilku dari bawah tangga, “sebentar, Ma” aku segera mengambil keranjang bunga dan berlari kebawah. Hari ini hari Sabtu, aku dan Mama berencana akan mengunjungi pemakaman Rian. Ia meninggal setahun yang lalu, karena penyakitnya yang sudah menggerogoti organnya. Aku menatp foto kami yang dipajang diatas ruang tamu, kemudian beranjak pergi.
“Rian, aku kembali” kataku saat telah sampai didepan makam Rian, sambil menaburi bunga aku menceritakan banyak hal padanya, hingga ketika ia pergi dan bagaimana perasaan kesepian dan kehilangan itu selalu menggelutiku. Tak terasa air mataku mulai menetes, Mama merangkulku sambil tersenyum.
Senja telah tiba, aku tahu sudah saatnya aku pulang, segera kuberanjak dan berlalu sambil melambaikan tangan padanya. Sesaat kulihat seekor kupu-kupu bersayap merah hinggap diatas pemakamannya, aku terhenyak dan tersenyum ”Sampai jumpa, Rian”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar