RIAN
AND RAIN
Kupetik
gitarku sambil melantunkan lagu-lagu, seakan jiwaku terbawa dalam
senandung-senandung sunyi lirik-lirik lagu itu. Tiba-tiba seseorang menepuk
punggungku dari belakang, “Rain, berangkat sekarang”, segera kuletakan gitarku
diatas ranjang dan segera beranjak meninggalkan kamar mungilku. Seperti biasa, aku berangkat
sekolah bersama Rian, kakakku sekaligus saudara kembarku. Namaku Rainy, Mama
memberi nama itu karena kami dilahirkan dimalam saat hujan turun sangat deras.
Dan ia pun tak menyangka, Tuhan akan memberikanny seorang gadis dan laki-laki
yang sangat mirip dalam beda waktu hanya 2 menit. Itu adalah kebahagiaan tak
ternilai bagi Mama.
Kini umur kami 16 tahun, secara biologis kami adalah
remaja yang sedang memasuki masa puber. Rian lebih terlihat cuek padaku, ia
lebih suka mendengarkan music dan sibuk dengan kegiatan basketnya, berangkat
ataupun pulang sekolah ia selalu berjalan didepanku dengan santai seolah ada
dalam dunianya sendiri. ”Rian, pelan-pelan”, aku selalu berteriak begitu disaat
kami telah terpisah jauh, ia pun berhenti dan hanya menoleh sambil tersenyum.
Ia jarang bercerita padaku tentang hal-hal pribadinya, walaupun sebagai seorang
adik aku merasa dikucilkan, namun aku tahu ia adalah kakak yang baik.
Karena sedikit penasaran dengannya, aku nekat
menanyai teman-teman sekelasnya, “menurut kalian, Rian dikelas kayak gimana?”,
teman-temannya dengan ramah menceritakan berbagai hal, namun yang paling membuatku
tertarik adalah satu hal, “hah, Rian suka sama Lucy? Sejak kapan?” aku kaget
setelah mendengar cerita mereka. Seorang kakakku yang polos bias menyukai
seorang gadis. Aku jadi tertarik untuk semakin mengusiknya, aku ingin ia
bahagia.
“Rian”, sepulang sekolah aku menghampirinya dan
mulai mengajaknya berbicara. Ia melepas sebelah earphone nya dan menoleh
kearahku, “,ada apa? Tumben kamu ngajak aku ngobrol”. “hmm… aku Cuma ingin
tahu, apa kamu bener suka sama Lucy?”, tiba-tiba Rian berhenti, raut wajahnya
menyiratkan suasana hatinya yang gundah. “maaf Rian, aku…”, “bener, Rain.
Lalu?”, aku pun panic, tak tahu harus berkata apa lagi, aku yakin Rian tak
ingin membahas ini, “gapapa, Cuma Tanya, hehe”, jawabku ragu-ragu karena tak
tahu harus berkata apa, “besok aku ikut tanding, nonton ya, aku udah beliin
tiket buat kamu” katanya sambil tersenyum, hatiku terasa sedikit lebih hangat,
“okee”.
Esok harinya, aku tak sabar melihat Rian betanding,
ia adalah kapten tim basket sekolah kami, dan tak jarang meraih juara. Dia
dikenal murid seluruh sekolah, dia manis dan juga cerdas, tak jarang ada gadis
yang mengejar-mengejarnya. Pritt…. Suara peluit tanda pertandingan telah mulai,
Rian dengan sigap dapat merebut bola dan akhirnya berhasil mencetak skor
pertama.
10 menit telah berlalu, sekolah kami sudah berhasil
mencetak skor lebih tinggi dari sekolah lawan. Saat ronde kedua akan dimulai,
tiba-tiba Rian berhenti berlari, wasit membunyikan peluit dan Rian segera
digantikan oleh pemain lain. Hatiku terasa tak nyaman, aku segera berlari
kearah Rian. “Rian kenapa?” tanyaku dengan lembut, wajahnya sudah terlihat
pucat. “Rainy…” ia menatap kerahku, kemudian pingsan. “Rian!”
Beberapa hari setelah kejadian itu, Rian menjadi
sangat pendiam, ia jarang tersenyum lagi padaku, ia hanya berbicara jika
benar-benar perlu. Aku merasa kesepian. Kini ia menderita kanker otak, yang
membuatnya sangat terpukul. Aku merasakan kesedihannya, aku mengerti
perasaannya, namun aku tak tahu aku harus berbuat apa. Suatu hari aku
memberanikan diri mengetuk kamarnya dan menyapanya, “Hai Rian”, ia menatapku
tanpa ekspesi, aku duduk diranjangnya dan melihat sekilas, “Rian, bolehkan aku
bernyanyi untukmu” kataku sambil tersenyum padaku, “tidak, kembali saja
kekamarmu”, jawabnya ketus. Aku sedikit jengkel, segera aku tinggalkan kamrnya
dan berlari kekamarku sambil menangis.
Sejak itu aku selalu berfikir untuk membuat Rian
mulai tersenyum lagi, aku tak bias tinggal dengan seseorang yang selalu
bersikap dingin padaku, dunia terasa sangat sepi, bahkan terasa mati. Saat aku
temukan ide, aku akan bawa Lucy pulang dan mengobrol dengan Rian, aku tak tahu
apakah Lucy tahu Rian mencintainya atau tidak, namun taka da salahnya mencoba.
“Lucy” aku memanggilnya kekelas saat pulang sekolah,
“ada apa Rain?”, kami pun mengobrol sebentar, Lucy adalah anak yang yang baik
dan aku yakin ia pasti mau membantuku. “baiklah, sejak tahu dia sakit aku belum
sempat menjenguknya”, “yess”, teriakku dalam hati, Lucy tolong buat Rian
tersenyum.
“kenapa kamu kesini?” Tanya Rian ketus pada Lucy
saat kami telah sampai dikamarnya, “Lucy ingin menjengukmu Rian” belaku pada
Lucy, namun Rian tetap diam. Aku pun meminta maaf pada Lucy, dan akhirnya Lucy
pun pulang dengan perasaan desikit kecewa, dari tatapannya sepertinya Lucy tak
memiliki perasaan apapun pada Rian, namun apa boleh buat, entah apakah Rian
masih mencintainya juga atau tidak. Karena jengkel aku berlari kekamarnya,
sejak divonis oleh dokter bahwa ia menderita kanker otak stadium 3, ia mulai
jarang masuk sekolah, ia pun keluar dari tim basket, ia tak bias lagi
beraktivitas seperti biasa, ia seperti kehilangan semangat hidup. Dan aku ingin
mengembalikan semangatnya yang hilang itu.
“Rian!” bentaku saat masuk kekamarnya, ia hanya
menolehku. “aku tahu kamu menyukainya, tapi mengapa kau lakukan itu padanya, ia
sudah dating kesini hanya untuk menjengukmu”, “lupakan apa yang pernah aku
katakan” jawabnya lugas.”Rian, aku mengerti kau sangat terpukul atas apa yang
terjadi padamu, kamu mulai jarang tersenyum, tahukah kau seberapa aku
merindukan senyumanmu? Aku kesepian disaat harus berjalan sendirian sepulang
sekolah” air mataku mulai menetes, aku berjalan mendekati Rian yang sedang
duduk ditepi jendela. “kamu ingat, disaat kita kecil kamu selalu menangkapkanku
seekor kupu-kupu dihalaman. Kau selalu bilang itu adalah hadiah yang bias
kauberikan, aku selalu senang menerimanya, walaupun akhirnya kau akan melepas
kupu-kupu itu kembali, dank au akan katakan bahwa itu adalah hadiah yang kau
berikan padanya karena telah membuatku tersenyum”, raut wajah Rian mulai
melembut, aku menunduk dan mulai menagis dipangkuannya. “Rian, kembalilah, aku
ingin Rian yang dulu, Rian yang selalu ada untukku, Rian yang selalu tertawa,
Rian yang selalu melindungiku”, “Rainy” Rian mulai menyebut namaku, aku
merasalan ia mengelus kepalaku perlahan. “Rian, apapun yang terjadi tolong
janganlah pernah membenciku, aku menyayangimu, aku sangat menyayangimu”, “aku
juga menyayangimu Rainy, dam maaf karena telah membuatmu menangis” kata Rian
lembut. Aku menatap wajahnya, Rian tersenyum, akhirnya, aku dapat melihat
senyum itu kembali, aku bangkit dan memeluknya. Kehangatan seorang saudara
kembar, seorang kakak yang selalu ada untukku.
Sejak itu Rian sudah kembali seperti biasa, ia
bersikap seperti dulu, seolah penyakitnya sama sekali tak menjadi beban
untuknya, walaupun terkadang aku harus mengingatkannya untuk minum obat, atau
menemaninya check up kerumah sakit, aku tetap bahagia apapun akan kulakukan
untuknya. Ia mulai dekat dengan Lucy, dan sering mengobrol bersama dirumah,
pasti akan diceritakannya apapun yang terjadi disekolah, setiapmalam tiba, aku
akan kekamar Rian sambil mendengar kisah-kisahnya, kami akan tertawa bersama
dalam bahagia.
“Rain” sesaat ketika sore hari ia mengetuk pintu
kamarku dan mengharmpiriku, “Ada apa Rian?” tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah
toples dari balik punggungnya, aku tersentak sejenak, “kupu-kupu bersayap
merah” kataku terpana, kupu-kupu paling indah yang pernah ditangkap Rian
untukku.
***
“Rainy, ayo berangkat” Mama memanggilku dari bawah
tangga, “sebentar, Ma” aku segera mengambil keranjang bunga dan berlari
kebawah. Hari ini hari Sabtu, aku dan Mama berencana akan mengunjungi pemakaman
Rian. Ia meninggal setahun yang lalu, karena penyakitnya yang sudah
menggerogoti organnya. Aku menatp foto kami yang dipajang diatas ruang tamu,
kemudian beranjak pergi.
“Rian, aku kembali” kataku saat telah sampai didepan
makam Rian, sambil menaburi bunga aku menceritakan banyak hal padanya, hingga
ketika ia pergi dan bagaimana perasaan kesepian dan kehilangan itu selalu
menggelutiku. Tak terasa air mataku mulai menetes, Mama merangkulku sambil
tersenyum.
Senja telah tiba, aku tahu sudah saatnya aku pulang,
segera kuberanjak dan berlalu sambil melambaikan tangan padanya. Sesaat kulihat
seekor kupu-kupu bersayap merah hinggap diatas pemakamannya, aku terhenyak dan
tersenyum ”Sampai jumpa, Rian”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar