Senin, 16 Januari 2017

CERPEN: Memories of the Rain

                                    
ini adalah salah satu cerita yang maunya aku buat novel tapi gak selesai wkwk, bahasaku masih agak kaku. maklum masih newbie, silahkan dibaca kalau mau

PROLOG
Senja sore itu begitu menakjubkan.Sinar matahari kemerahan perlahan menembus samudra langit yang luas, melewati lembutnya awan putih yang melaju perlahan.
 Aku tidak akan pernah lupa, bagaimana ekspresi Ren sore itu. Senyum manisnya menghiasi wajah pucatnya yang sedikit kemerahan terpapar hangatnya mentari sore
“Seneng banget dapat ke pantai bareng kamu, Ka” kata Ren seraya memalingkan wajahnya ke arahku.Aku membalas kata-katanya dengan senyuman.
Aku dan Ren adalah teman sejak kecil. Rumah kami hanya terpisah beberapa blok. Sekarang usia kami 11 tahun, masuk di sekolah yang sama dengan Ren membuat aku dan dia terlihat seperti kakak dan adik.
Wajahnya yang agak pucat membuat ekspresinya terlihat agak sedih.Lembaran kain bulu bermotif garis membalut tubuhnya.baju kaos dengan panjang menutupi pergelangan tangannya, dan celana kain warna biru yang menutupi seluruh kakinya.

“Ren, apa kamu akan kembali lagi ke rumah sakit?” tanyaku dengan nada khawatir.Suaraku selalu terasa bergetar tiap kali aku tanyakan itu padanya. Ketika aku tau ia masuk rumah sakit beberapa minggu lalu, aku menangis di rumah seharian. Aku rindu ren.

“Entahkah, Ka. Jika aku kembali ke rumah sakit, kamu mau kan menemaniku bermain disana?” Tanya Ren, pandangannya tetap memandang ke lautan biru jingga di hadapan kami. Aku mengangguk kecil. Walau Ren tak menatapku aku tau ia merasakan bahwa aku mau.
Seekor kepiting kecil berjalan mendekati kami.Ren menggesernya tubuhnya sedikit kebelakang, memberi jalan pada kepiting itu untuk lewat.matanya tak lepas menatap hewan berkulit keras itu hingga menghilang dari tatapannya.
“Ren, Mika. Ayo pulang” ajak Mama Ren yang sejak tadi memperhatikan kami dari kejauhan dan tak kami sadari sekarang telah berdiri tak jauh dari tempat kami berdua.
“Ren ayo pulang, kamu pasti kangen rumah. Papa buatin aku ayunan di halaman belakang, ada 2 ayunan, kita bisa main sama-sama” katanya sedikit memelas pada ren.Dia sangat menyukai pantai.Ketika dia sehat, kami bisa pergi ke pantai hampir empak kali dalam seminggu.Kebetulan jarak rumah kami dan pantai kurang dari empat kilometer.
Ren akhirnya berpaling dan melihatku dalam diam. Wajahnya menunjukkan bahwa ia ingin sekali tinggal. Namun akhirnya ia mendengus pelan. Seraya bangkit dari tempatnya duduk, ren mengambil sedikit pasir kemudian menaburkannya lagi. Aku mengernyit, apa yang ren lakukan?
“ren, ayo… kamu ngapain sih?” tanyaku sedikit heran. Walaupun aku sering melihat ren melakukan itu ketika kami ke pantai, namun aku tak pernah paham mengapa ia melakukannya. Ren tertawa kecil melihat ekspresi heranku, huh… padahal udah ngebet banget pengen pulang.
Tak lama kemudian ren melangkah mendahuluiku, langkahnya begitu menunjukkan sikapnya yang tabah dan kuat. Aku tahu, selama ini ia sangat sedih. Menderita kelaninan jantung kongenital yang membuatnya menjadi laki-laki yang lemah.Namun aku takjub pada sikap kuatnya itu.

BAB 1
“Maaaaaa…..” aku berteriak lantang dari kamarku seraya mengobrak abrik lemari kayu yang kini terlihat seperti tumpukan cucian.
“Kenapa Mika?” Tanya Mama sambil melangkah pelan ke ranjangku dan duduk di pinggir, merapikan baju yang sejak tadi aku lempar semrawutan.
Aku memalingkan wajahku sambil mengerucutkan bibir, menatap mata mama yang memandangku heran“Wristband ku hilang” rengekku.Bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang sangat kamu sukai?Setiap orang pasti punya benda kesukaan mereka.Dan aku suka wrist band biru donker pemberian Ren ketika ulang tahunku minggu lalu.
Mama bangkit dari ranjangku dan mulai ikut serta mengobrak abrik lemari. Mama memang paling mengerti putrinya yang rewel ini. Wrist band itu selalu aku pakai kemana pun aku pergi.Aku tidak mengerti kenapa barang-barang pemberian Ren selalu menjadi favoritku, Ren memang tau apapun yang aku sukai.
Setelah 10 menit membongkar lemari, akhirnya aku temukan apa yang aku cari. Aku memeluk mama sebagai ucapak terimakasih. “makasih, Ma, Mika pergi dulu”. Kuraih tasku di atas meja belajar kemudian berlari keluar.
“Mika jangan lupa sarapan” teriak mama dari balik pintu selagi aku masih berlari menuruni tangga. Mama mendengus kesal. Aku mengambil sepotong roti bakar kemudian berlari keluar.Kususuri jalanan yang dipenuhi anak sekolahan lalu lalang.Rumahku terletak di wilayah perumahan.Sekolah hanya berjarak kurang dari 2 kilometer dari sini, wajar saja anak-anak ini lebih senang berjalan ke sekolah daripada dengan berkendara.
Aku mempercepat langkahku menuju sebuah gerbang kayu warna cokelat.Ada bel di sebelah kanan gerbang tersebut, namun aku nyelonong dan membuka gerbang itu dengan santai.Seorang anak laki-laki tengah bersiap di teras sambil mengikat tali sepatunya.Anak itu menoleh ke arahku kemudian tersenyum polos.
“Ren ayo, kita hampir terlambat” teriakku pada Ren. Ren mengangguk semangat kemudian berlari ke arahku yang kini telah berpaling menuju gerbang.Kami melangkah cepat sepanjang perjalanan.Tak lebih dari 5 menit berjalan Ren sudah ngos-ngosan.Inspirasi dan ekspirasi yang cepat.Aku sudah sering melihat Ren seperti ini.Spontan kupelankan langkahku dan berdiri di samping Ren.
“Kamu nggak apa?” tanyaku khawatir. Kulirik jam di tangan kanan ku. Pukul tujuh dua puluh. Sepuluh menit lagi bel akan berbunyi. Namun aku tak mungkin meninggalkan Ren.Tahun ke dua kami di SMP.Aku sudah terbiasa dengan apapun resiko yang terjadi jika aku dengan Ren.Termasuk kebiasaan pagi hari ini.
“Stop!” seorang laki-laki berperawakan kurus menghadang kami di depan gerbang sekolah yang sudah setengah tertutup. Telapak tangan laki-laki itu terpampang jelas di depan wajah aku dan Ren.
“Sudah jam berapa ini bocah-bocah” kata laki-laki itu dengan nada menyindir.Ia adalah Pak Kasmadi, satpam sekolah kami.
“Jam tujuh tiga puluh pak” jawabku polos sambil memutar bola mataku.
“Bapak capek menghukum kamu Mika, yah untuk kali ini kalian boleh lolos, tapi kalau besok kalian terlambat lagi, bapak akan suruh kalian membersihkan semua toilet di sekolah”
Aku menarik tangan Ren melewati pak kasmadi, “terimakasih pak, Mika traktir es buah jam istirahat nanti siang haha…” “Sippp”
Aku mengintip lewat jendela.Tidak ada guru di kelas. Anak-anak lain juga masih terlihat saling bercanda satu sama lain.
Brakk…
“Mika, untung kamu udah datang” Yola, teman sebangkuku melongok melihatku tiba tiba muncul di sampingnya.
“Aku hampir aja uhhmm bersihin toilet lagi uhhmmm, Yol” jawabku setengah ngos-ngosan.
Ekspresi lugu Yola yang khas dengan jari telunjuk yang di gerak-gerakan ke depan dan eskpresi wajahnya yang terlihat seperti detective sedang menginterogasi calon buruannya, “pasti pak kasmadi kasi kamu lolos lagi ya, Mik?”
“Iyaa dong, pak kasmadi kan satpam tua berjiwa muda” sontak kami berdua terkikik, ya memang pak kasmadi sudah berusia lebih dari 45 tahun, namun beliau sagat senang bercanda dengan murid murid smp di sekolahku.
Beberpaa menit kemudian Bu Anggun memasuki ruangan, wajah bulatnya dengan sedikit lemak bergoyang di bawah pipinya yang dipoles bedak tebal.Wajahnya yang selalu serius dan hampir tidak pernah tersenyum membuat para mulit di dalam kelas spontan bungkam.
Plakk…
Aku reflex berkedip mendengar bunyi tumpukan file yang diletakkannya dengan kasar di atas meja. Kemudian Bu Anggun mengambil spidol dan mulai menulis di papan. Tanpa instruksi selanjutnya, semua murid merogoh tas mereka dan mengeluarkan buku catatan.
Kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Bu Anggun seperti masuk kiri keluar kanan di kepalaku.Aku sangat bosan.Sesekali kulirik Ren yang dengan serius mencatat setiap penjelasan Bu Anggun.Kupalingkan wajahku ke jendela. Menatap langit biru cerah yang selalu membuatku tersenyum
“Mik, udah belom?” Bian terlihat tidak sabaran, sambil menghentak-hentakkan kakinya tandanya ia sudah tidak betah menunggu lebih lama lagi.
“Lagi bentar, Bi”
“Jangan sampai dilihat sama yang lain, Ka. Bisa gawat,”pekik Bian.Aku hanya mendecakkan lidahnya.Cewek yang satu ini memang rewel dan nggak sabaran.Apalagi kalau urusan cinta.Aku memicingkan matan dan memfokuskan pandanganku pada seorang cowok berkulit putih yang tengah duduk di pinggir lapangan basket.
“Selesai,” aku menjerit bahagia.Bian menggulung lukisan itu dan memasukkan ke dalam tasnya.
“Kamu ada ekstrakulikuler hari ini?” Tanya Bian. Aku mengangguk dengan semangat.
Tanpa mereka sadari seorang cowok berbadan tinggi dengan sebuah ransel gitar besar terikat di punggungnya tengah mengendap-ngendap menuju kea rah mereka.
“HAI!” teriak cowok itu tiba-tiba.Aku dan Bian terkesiap.Melihat cowok jail di sampingnya itu Bian spontan memukulnya karena kesal.Cowok itu terkekeh.
“Ngapain sih jam segini masih di sekolah, mau ngeganjenin cowok-cowok basket?”
“Bukan urusanmu, Gas,” Bian menjawab acuh.Bagas berkedik.Cowok satu ini sebenarnya adalah salah satu cowok eksis di sekolah.Namun karena kegilaannya pada Naruto, dia menjadi salah satu cowok yang paling buat aku il-feel. Terutama ketika dia memanggilku dengan nama “Hinata”. Ishhh, nyebelin banget.
“Hai Hinata, tambah manis aja,” Bagas mulai ngegombal lagi. Aku mengerucutkan bibirku tanda tak suka. Tapi toh Bagas akan tetap melakukan itu.
“Ngomong-ngomong Ren mana?”Tanya Bagas seraya memutar pandangannya.Berusaha mencari sesosok cowok yang bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengannya. “Loh, biasanya dia selalu nempel sama kamu, Mik”
“Emang aku pengawalnya,” jawabku ketus, “Ren lagi di perpus nyari buku fiksi untuk tugas bahasa Indonesia.”
“Oohhh, udah dulu ya aku mau latihan, cepetan Bi, nanti Pak Yudi marah lagi sama kamu gara-gara telat.”
“Aku pergi dulu ya, Mik.Makasi gambarannya.”Kata Bian sambil melambaikan tangan.
“Daa, Hinata. Salam buat Sasuke tercinta,” Bagas tersenyum jahil.Aku mengerti Bagas itu bukan menyukaiku, dia hanya suka menggoda cewek-cewek di kelas. Dan si sasuke itu, you know lah maksudnya siapa.
Aku melangkah cepat menuju perpustakaan.Semoga saja Ren masih disana.Ya pastinya dia masih disana.Dia tidak mungkin meninggalkanku dan pulang sendirian.
Brak…
Aku melangkah mundur dua langkah.Namun lawan di depanku malah sudah jatuh terkapar di lantai tak jauh dari tempatku berdiri.
“Kamu nggak apa, Loli?” Tanya seorang cewek berambut panjang.Cewek yang terjatuh tadi dibantunya berdiri kemudian menatapku dengan tatapan dingin.
“Kalau jalan pakai mata dong!” bentaknya.
“Jalan ya pakai kaki, mata buat lihat, bukan buat jalan,” balasku angkuh.Cewek itu menghentakkan kaki kanannya dengan keras di lantai.Ini dia si ratu sekolah.Namanya Lolita dan biasa dipanggil Loli.Wahy? Kaena katanya nama itu lebih lucu dan buat dia keliatan imut. Ish, narsis banget.Banyak hal yang nggak aku suka dari dia, tapi yang paling nggak aku suka adalah sifat bossy nya yang nyebelin itu.
“Udah, Loli. Kita pergi aja. Ngapain sih berurusan sama cewek kayak gini. Nggak level banget,” cerca Jasmine. Cewek berkulit seperti porselen blaster Jerman  itu memang terkenal angkuh. Walaupun cantik, tapi kalau sesuai kriteria brain, beauty, behavior.Dia nggak punya behavior.
Loli menepuk-nepuk bagian belakang roknya yang tertempeli debu lantai.Jasmine membantunya dengan membawakan tasnya.Jasmine lebih terlihat seperti pengawalnya Loli, padahal menurutku Jasmine itu lebih cantik dari Loli.
Aku hanya terdiam di tempat dengan wajah gusar, melihat tingkah ratu dan ajudannya itu membuatku mual. Sampai seorang cowok berwajah polos muncul dari balik sudut tembok kelas sambil memegangi tiga buah buku cover tebal dengan berbagai warna. Seketika Loli dan Jasmine menoleh ke belakang. Mata Loli terbelalak melihat cowok manis di hadapannya itu. Kemudian dia jadi salah tingkah
“Hmm…Jas, kita….kita ber..angkat sekarang aja yuk. Nan-nanti keburu telah, hehe,” Loli tergagap.Jasmine mengangguk tanda mengerti, kemudian menarik tangan Loli dan menghilang dari hadapanku dan Ren.
“Mereka kenapa?Kalian ada masalah?”
Ada masalah Ren?Kamu serius nanya gitu. Bahkan setiap aku bertemu dengan mereka aku akan jadi bermasalah. Aku heran, kenapa sih setiap di tengah-tengah perdebatanku dan Loli, ketika Ren muncul Loli akan langsung pergi. Apa aku harus berubah jadi polos supaya tidak menjadi musuh besar si Ratu sekolah. Hmm…maybe.
“Tadi aku jalan, jalan di sebelah kiri sesuai rambu-rambu lalu lintas dan norma seorang pejalan kaki. Terus pas belokan ini, cewek itu muncul tiba-tiba kayak hantu.Pas ketabrak dia jatuh dan langsung ngumpat-ngumpat aku kayak aku yang salah,” aku menjawab ketus.Ren mengernyitkan dahi.Masih dengan bibir mengerucut aku mengambil 2 buah buku yang Ren pegang.
“Ini bukan jalan raya, Ka.Hahahah,” Ren tertawa keras.Aku menggeram kesal.Yah, Ren benar.Ini memang bukan jalan raya.Tapi bukankah Ren harus membelaku?
Aku dan Ren berjalan beriringan di sepanjang koridor.Ren menceritakan kisah “The Nutcracker”.Sebuah buku fantasi yang baru dibacanya tadi di perpustakaan.Aku mendengarkan dengan antusias.Gaya bercerita Ren sangat menyenangkan dan terasa hidup.Seolah kau bisa membayangkan dengan indah bagaimana kisah cerita itu.
Langkah kami terhenti di sebuah pintu cokelat dengan banyak stiker tertempel di sepanjang pinggirannya. Tepat di depan pintu itu, berdiri pintu lainnya dengan bahan yang sama. Namun bedanya pintu itu sangat bersih, dengan plang bertuliskan “SCIENCE CLUB” terpampang jelas dan rapi di depannya.
“Aku masuk dulu ya, Ka,” Ren memutar langkahnya ke aras pintu tersebut dan memutar gagangnya. Ketika pintu itu terbuka beberapa derajat busur, aku dapat mendengar sedikit kebisingan dari murid-murid di dalam sana.
“Kalau kamu udah selesai, cari aku kesini ya.”
Ren melambaikan tangannya sambil perlahan menutup pintu.Setelah bunyi klik terdengar.Baru aku mulai membuka gagang pintu cokelat di hadapanku.Intensitas bunyi yang 4x lebih bising dari ruangan yang Ren masuki tadi.
“Mika, welcome,” sapa seorang cowok yang duduk di dekat jendela. Di hadapannya telah berdiri kokoh kanvas berukuran sedang dengan sebuah meja berukuran kecil di sampingnya di atas meja tersebut tercecer berbagai macam cat warna, kuas, dan sebuah kotak tisu.Cowok berambut cokelat itu mengenakan semacam celemek berwarna putih dengan tali yang menyilang di leher dan pinggangnya. Senyum manis langsung tergerai di wajahnya.
“Hai.Leo, udah lama disini?” sapaku sambil melangkah mendekatinya.
“Lumayan, aku lagi buat lukisan untuk mama.”
Tanpa perintah aku lagsung melongokkan kepalaku dari balik kanvas di depan Leo. Hanya mengintip sedikit saja aku sudah terbelalak dibuatnya.Leo memang berbakat.Lukisannya bertemakan seorang ibu yang sedang mengajarkan seorang anak laki-laki bermain gitar.Ibu berambut hitam pendek dengan jari-jari yang panjang dan lihai memetik senar-senar dan melantunkan sebuah melodi yang sangat indah.Aku seakan dapat membayangkan bagaimana gambar tersebut bercerita.
“Aku yakin kamu pasti pernah mengalami hal seperti ini.”
Leo tersenyum tipis. Aku dapat membaca mimiknya bahwa ia sangat bahagia.
“Mama memang hebat, tapi sekarang aku sudah lebih hebat dari mama,” kata Leo bangga. Senangnya punya mama yang berbakat seperti mama Leo.Mamaku sepertinya tidak memiliki bakat khusus.
Kadang memasak telur saja sampai gosong.Tak jarang mama merobek pakaianku saat sedang menyetrika karena tidak mengaturnpanasnya sesuai bahan pakaian.Tapi setidaknya mama sangat menyayangiku.Dan aku juga sangat sayang mama.
“Oh ya, kapan-kapan kamu harus main gitar dan nyanyi lagunya Taylor Swift di depanku, “ tantangku. Walaupun aku tau Leo tidak berbohong soal kebolehannya ini.Tapi aku ingin melihat cowok ini menyanyi layaknya seorang musisi terkenal.
“Boleh,” jawabnya mantap.
Nuansa ruangan yang terselimuti oleh aroma cat dan kanvas yang mendominasi itu terasa sangat indah.Ruangan ini adalah ruangan untuk “Art Klub”.Ruangan ini hanya berukuran 6x4 meter persegi.Namun dinding-dinding di ruangan ini dipenuhi oleh lukisan para anggotanya.Bukan lukisan yang dilukis di kanvas atau di kertas.Tapi lukisan yang langsung melekat abadi di tembok ruangan.
Ruangan ini hanya memiliki 3 dinding kosong.Satunya lagi adalah deretan jendela.Namun di bagian atas dan bawah bingkai jendela itu juga terdapat lukisan kebun bunga dan lagit dengan awan yang cerah.Di 3 sisi lainnya ada pemandangan perkotaan yang dipotret dari atas bukit.Di sisi lainnya tempak gambaran layaknya karikatur yang mengisahkan mengenai global warming.Di sisi lainnya lagi tampak sangat banyak gambar.
Sisi ini adalah sisi yang berukuran 6 meter.Dibagi menjadi 12 buah kotak.Di masing-masing kotak diberi gambar yang berbeda.konon katanya bagian ini dibuat oleh 12 anggota pertama dari art klub. Dan mereka mengabadikan eksistensi mereka dalam lukisan tangan yang akan dilihat oleh penerus-penerus mereka.
Aku duduk di sebuah kursi kosong di dekat jendela, tepat di sebelah lokasi Leo melukis.Biasanya Leo memang sengaja menyisakan tempat ini untukku.Dia adalah ketua klub dan juga teman baikku di klub.Klub ini jarang ditemani oleh Pembina kami, Pak Raka, guru seni rupa. Biasanya kami datang kesini setiap jam ekstrakulikuler dan mulai melukis lukisan yang kami inginkan. Namun ada kalanya Pak Raka datang dan memberi tema lukisan, kemudian akan dipresentasikan di minggu berikutnya.
Walaupun ini adalah kub seni tapi angota-anggotanya kebanyakan sangat talkative.Seperti Jon yang hobi mendengarkan musik dengan headphone nya sambil melukis, dan menyanyikan lagu-lagunya dengan keras.Tiara dan Fiona, dua kembar yang selalu mengobrolkan apapun peristiwa yang terjadi di sekolah selama satu minggu kadang disebut juga twin gossiper.Hendri, yang kebiasannya hampir mirip Jo tapi bedanya, Hendri itu menyalakan music dengan agak keras sehingga seantero ruangan dapat mendengarkan.
Spesies orang seni memang bervariasi. Namun, yang aku suka dari mereka, tidak ada yang saling terganggu dengan aktivitas satu sama lain. Anggota kami memang sedikit, tapi dalam setiap kompetisi, kami selalu dapat meraih salah satu piala.
Setelah selesai menata alat lukisku dan mengenakan celemek, aku mulai duduk dan memandangi kertas kosong di hadapanku.Berbeda dengan Leo, hari ini aku ingin melukis dengan pensil.sama seperti membuat sketsa wajah. Setelah 1 menit memandangi kertas itu, aku merasa buntu.Kenapa tidak ada lampu bersinar di atas kepalaku?
“Nggak ada ide?”Tanya Leo yang masih sibuk memoles lukisannya.Aku hanya membalasnya dengan anggukan.
“Kamu tau, Ka,” kata Leo mulai bercerita,” Aku melukis sesuai perasaanku, makanya aku selalu tau apa yang aan aku lukis. Terkadang karena saking banyaknya ide, aku sampai bisa menyelsaikan 3 lukisan bergantian.”Wah aku tidak tahu itu, pikirku.Leo kali ini menghentikan gerakan gemulai jemarinya dan mulai menoleh kepadaku. Kemudian aku memikirkan apa yang hari ini aku rasakan.
“Aku lagi bête, kira-kira apa yang bisa aku lukis?” tanyaku kemudian, sambil mengetuk-ngetukkan pensil di pelipis kananku.
“Bete kenapa?”Tanya Leo penasaran.Wajahnya terlihat serius mendengarkan curahan hatiku.Rasanya tidak masalah jika aku cerita padanya, Leo orang yang dapat dipercaya.
“Lagi sebel samaseseorang,” jawabku dengan malas, kemudian aku mendengus, “Kira kira aku bisa nglukis apa?” aku baru sadar Leo belum menjawab pertanyaanku.Melukis adalah salah satu caraku melupakan masalah, beban, bahkan PR. Makanya mama sering ngelarang aku melukis kalau dekat-dekat ujian.
“Mika, Mika. Kamu itu orang paling cria dan cerewet yang pernah aku kenal, kamu bisa sebel juga ya hahahah.”
Aku merengut, tadinya kupikir Leo akan bertanya dengan simpati, mendengarkan ceritaku dari sabang sampai merauke, ternyata aku salah. Dia malah menertawaiku, karena aku tidak sesuai dengan yang dia pikirkan.Maksudku, cerewet, ceria. Apakah seseorang dengan kepribadian seperti itu tidak pernah merasa kesal dengan orang lain?
“Aku baru saja mau cerita, Leo. Ishh… Leo nyebelin.”
“Fine.Sekarang kamu boleh cerita, aku siap dengerin.”
Leo memang pengertian, mungkin dia masuk sebagai runner up dalam list “Cowok paling pengertian ” di notebooknya, yang nomor satu siapa lagi selain sahabtku tercinta, Ren.
Aku mulai menceritakan Leo, tentang bagaimana menyebalkannya Lolita, sombongnya Lolita, dan menyebalkannya Lolita.Kenapa aku menyebut kata menyebalkan 2 kali.Karena dia memang dobel dobel nyebelin. How abou Jasmine? Entah kenapa aku tidak terlalu memperhatikan gadis itu. Mungkin karena bidikanku lebih focus pada Lolita. Aku tidak pernah bermasalah dengan Jasmine jika tidak Lolita yang mulai duluan.
“uh-umm” Leo mengangguk mendengar ceritaku, sudah ke sekian kalinya dia merespon demikian.Mungkin karena aku menbahkan bumbu-bumbu masa lalu pengalaman menyebalkan dengan Lolita.Ia tak berkomentar apapun sepanjang cerita. Aku juga tidak suka ceritaku dipotong, tapi bukan berarti aku tidak suka ceritaku hanya dianggap angina lalu.
“…setelah Ren datang, dan Lolita langsung pergi,” aku mengakhiri cerita.
“Kamu ingat kapan pertamakali kamu sama Lolita bertengkar?” aku melirik ke atas, sambil memelintir ujung rambutku yang dikepang  dua. Setelah beberapa detik dan lampu kuning tidak kunjung muncul di atas kepalaku, lalu aku menggeleng.
“Tidak ingat, saat kelas 7 aku sekelas dengannya, karena Ren belum punya teman jadi aku selalu menemaninya.Tapi karena Ren itu cerdas dan menonjol di kelas, aku jadi kena efeknya juga.Lolita itu udah dikenal seantero sekolah, bahkan sejak kelas pertama belum mulai, mungkin dia iri sama aku,” kataku bangga. Sepanjang aku bermusuhan dengan Lolita, aku tidak pernah memikirkan apa alas an aku dan dia sellau bertengkar, beda pendapat, sangat oposit.
“Kamu yakin Cuma karena itu?”
“Entahlah.” kenapa pertanyaan Leo membuatku berpikir keras.Aku masih memikirkan sata-saat pertama aku bertemu dengan Lolita.Kenapa?Kenapa?Dan kenapa?Hanya itu yang melayang-layang di pikiranku.Membenci seseorang adalah hal yang tidak baik, aku tahu itu. Tapi aku masih tidak mengerti apa yang membuatku begitu membencinya dan dia begiitu membenciku.
Kepalaku terasa seperti benang kusut. Aku melirik jam di tangan kananku. Masih ada satu jam lagi sebelum Ren menjemputku kemari. Aku hampir lupa bahwa aku kesini untuk melukis, bukan untuk story telling dengan Leo.
“Ka, menurutku kamu harus berbaikan dengannya,” aku menatap Leo lekat-lekat.Baru saja aku sadar bahwa aku harus menyelesaikan lukisanku, dan sekarang Leo memancingku untuk membahas si permen loli.
“Jangan dibahas lagi deh. Mending bantu aku cari ide,” kataku judes. Leo hanya mengedikkan bahu.
“Oke, kenapa kamu nggak lukis wajah mamamu.”Wajahku berubah cerah, Leo brilian.Ulang tahun mama masih jauh, jadi aku bisa menyimpan lukisan ini di kamar dan nggak perlu repot-repot cari hadiah buat mama.Kenapa aku nggak kepikiran ini sejak pertamakali liat lukisan Leo? Hum, mungkin karena habis bertengkar.
“Gotcha, ide bagus.”
Aku mulai menggores pensil di atas kertas putih di hadapanku.Beberapa menit berlalu dan ruangan tampak semakin sepi.Beberapa anak sudah dijemput orang tua mereka, dan sekarang giliran si kembar Tiara dan Fiona yang tengah berkemas.
“Leo, Mika, kami duluan ya,” kata Fiona sambil mengenakan tasnya. Tiara masih berusaha memasukkan barang-barangnya ke dalam tas nya yang overload itu. Jika dilihat sekilas mereka memang mirip, tapi sesungguhnya bentuk wajah mereka sedikit berbeda, ditambah Fiona mengenakan behel yang membuat semua orang bisa membedakan mereka dengan tepat.
“Hati-hati, Tiara, Fiona,” aku melambaikan tangan pada Tiara dan Fiona yang kini tengah membuka pintu.
“Sampai jumpa,” Leo ikut mengiringi kepergian mereka.
Beberapa saat kemudian mereka berdua menghilang dari balik pintu.Kini hanya tersisa Leo dan aku di ruangan itu.Aku menatap ke arah deretan jendela di samping Leo.Hanya ada beberapa anak yang masih berlalu lalang di halaman sekolah.
“Mik, kamu nggak pulang?” Tanya Leo memecah keheningan di antara kami berdua.Suasana art klub yang biasanya ramai kini terasa sunyi.
“Aku nunggu Ren, dia yang jemput kesini kalau klub sains udah selesai.”

“Kamu akrab banget sama Ren.” Leo 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar