
ini adalah salah satu cerita yang maunya aku buat novel tapi gak selesai wkwk, bahasaku masih agak kaku. maklum masih newbie, silahkan dibaca kalau mau
PROLOG
Senja
sore itu begitu menakjubkan.Sinar matahari kemerahan perlahan menembus samudra
langit yang luas, melewati lembutnya awan putih yang melaju perlahan.
Aku tidak akan pernah lupa, bagaimana ekspresi
Ren sore itu. Senyum manisnya menghiasi wajah pucatnya yang sedikit kemerahan
terpapar hangatnya mentari sore
“Seneng
banget dapat ke pantai bareng kamu, Ka” kata Ren seraya memalingkan wajahnya ke
arahku.Aku membalas kata-katanya dengan senyuman.
Aku
dan Ren adalah teman sejak kecil. Rumah kami hanya terpisah beberapa blok.
Sekarang usia kami 11 tahun, masuk di sekolah yang sama dengan Ren membuat aku
dan dia terlihat seperti kakak dan adik.
Wajahnya
yang agak pucat membuat ekspresinya terlihat agak sedih.Lembaran kain bulu
bermotif garis membalut tubuhnya.baju kaos dengan panjang menutupi pergelangan
tangannya, dan celana kain warna biru yang menutupi seluruh kakinya.
“Ren,
apa kamu akan kembali lagi ke rumah sakit?” tanyaku dengan nada
khawatir.Suaraku selalu terasa bergetar tiap kali aku tanyakan itu padanya.
Ketika aku tau ia masuk rumah sakit beberapa minggu lalu, aku menangis di rumah
seharian. Aku rindu ren.
“Entahkah,
Ka. Jika aku kembali ke rumah sakit, kamu mau kan menemaniku bermain disana?”
Tanya Ren, pandangannya tetap memandang ke lautan biru jingga di hadapan kami.
Aku mengangguk kecil. Walau Ren tak menatapku aku tau ia merasakan bahwa aku
mau.
Seekor
kepiting kecil berjalan mendekati kami.Ren menggesernya tubuhnya sedikit
kebelakang, memberi jalan pada kepiting itu untuk lewat.matanya tak lepas
menatap hewan berkulit keras itu hingga menghilang dari tatapannya.
“Ren,
Mika. Ayo pulang” ajak Mama Ren yang sejak tadi memperhatikan kami dari
kejauhan dan tak kami sadari sekarang telah berdiri tak jauh dari tempat kami
berdua.
“Ren
ayo pulang, kamu pasti kangen rumah. Papa buatin aku ayunan di halaman
belakang, ada 2 ayunan, kita bisa main sama-sama” katanya sedikit memelas pada
ren.Dia sangat menyukai pantai.Ketika dia sehat, kami bisa pergi ke pantai
hampir empak kali dalam seminggu.Kebetulan jarak rumah kami dan pantai kurang
dari empat kilometer.
Ren
akhirnya berpaling dan melihatku dalam diam. Wajahnya menunjukkan bahwa ia
ingin sekali tinggal. Namun akhirnya ia mendengus pelan. Seraya bangkit dari
tempatnya duduk, ren mengambil sedikit pasir kemudian menaburkannya lagi. Aku
mengernyit, apa yang ren lakukan?
“ren,
ayo… kamu ngapain sih?” tanyaku sedikit heran. Walaupun aku sering melihat ren
melakukan itu ketika kami ke pantai, namun aku tak pernah paham mengapa ia
melakukannya. Ren tertawa kecil melihat ekspresi heranku, huh… padahal udah
ngebet banget pengen pulang.
Tak
lama kemudian ren melangkah mendahuluiku, langkahnya begitu menunjukkan
sikapnya yang tabah dan kuat. Aku tahu, selama ini ia sangat sedih. Menderita
kelaninan jantung kongenital yang membuatnya menjadi laki-laki yang lemah.Namun
aku takjub pada sikap kuatnya itu.
≠
BAB 1
“Maaaaaa…..” aku berteriak lantang dari
kamarku seraya mengobrak abrik lemari kayu yang kini terlihat seperti tumpukan
cucian.
“Kenapa Mika?” Tanya Mama sambil
melangkah pelan ke ranjangku dan duduk di pinggir, merapikan baju yang sejak
tadi aku lempar semrawutan.
Aku memalingkan wajahku sambil
mengerucutkan bibir, menatap mata mama yang memandangku heran“Wristband ku
hilang” rengekku.Bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang sangat kamu
sukai?Setiap orang pasti punya benda kesukaan mereka.Dan aku suka wrist band
biru donker pemberian Ren ketika ulang tahunku minggu lalu.
Mama bangkit dari ranjangku dan mulai
ikut serta mengobrak abrik lemari. Mama memang paling mengerti putrinya yang
rewel ini. Wrist band itu selalu aku pakai kemana pun aku pergi.Aku tidak
mengerti kenapa barang-barang pemberian Ren selalu menjadi favoritku, Ren memang
tau apapun yang aku sukai.
Setelah 10 menit membongkar lemari,
akhirnya aku temukan apa yang aku cari. Aku memeluk mama sebagai ucapak
terimakasih. “makasih, Ma, Mika pergi dulu”. Kuraih tasku di atas meja belajar
kemudian berlari keluar.
“Mika jangan lupa sarapan” teriak mama
dari balik pintu selagi aku masih berlari menuruni tangga. Mama mendengus
kesal. Aku mengambil sepotong roti bakar kemudian berlari keluar.Kususuri
jalanan yang dipenuhi anak sekolahan lalu lalang.Rumahku terletak di wilayah perumahan.Sekolah
hanya berjarak kurang dari 2 kilometer dari sini, wajar saja anak-anak ini
lebih senang berjalan ke sekolah daripada dengan berkendara.
Aku mempercepat langkahku menuju sebuah
gerbang kayu warna cokelat.Ada bel di sebelah kanan gerbang tersebut, namun aku
nyelonong dan membuka gerbang itu dengan santai.Seorang anak laki-laki tengah
bersiap di teras sambil mengikat tali sepatunya.Anak itu menoleh ke arahku
kemudian tersenyum polos.
“Ren ayo, kita hampir terlambat”
teriakku pada Ren. Ren mengangguk semangat kemudian berlari ke arahku yang kini
telah berpaling menuju gerbang.Kami melangkah cepat sepanjang perjalanan.Tak
lebih dari 5 menit berjalan Ren sudah ngos-ngosan.Inspirasi dan ekspirasi yang
cepat.Aku sudah sering melihat Ren seperti ini.Spontan kupelankan langkahku dan
berdiri di samping Ren.
“Kamu nggak apa?” tanyaku khawatir.
Kulirik jam di tangan kanan ku. Pukul tujuh dua puluh. Sepuluh menit lagi bel
akan berbunyi. Namun aku tak mungkin meninggalkan Ren.Tahun ke dua kami di
SMP.Aku sudah terbiasa dengan apapun resiko yang terjadi jika aku dengan
Ren.Termasuk kebiasaan pagi hari ini.
“Stop!” seorang laki-laki berperawakan
kurus menghadang kami di depan gerbang sekolah yang sudah setengah tertutup.
Telapak tangan laki-laki itu terpampang jelas di depan wajah aku dan Ren.
“Sudah jam berapa ini bocah-bocah” kata
laki-laki itu dengan nada menyindir.Ia adalah Pak Kasmadi, satpam sekolah kami.
“Jam tujuh tiga puluh pak” jawabku polos
sambil memutar bola mataku.
“Bapak capek menghukum kamu Mika, yah
untuk kali ini kalian boleh lolos, tapi kalau besok kalian terlambat lagi,
bapak akan suruh kalian membersihkan semua toilet di sekolah”
Aku menarik tangan Ren melewati pak
kasmadi, “terimakasih pak, Mika traktir es buah jam istirahat nanti siang
haha…” “Sippp”
Aku mengintip lewat jendela.Tidak ada
guru di kelas. Anak-anak lain juga masih terlihat saling bercanda satu sama
lain.
Brakk…
“Mika, untung kamu udah datang” Yola,
teman sebangkuku melongok melihatku tiba tiba muncul di sampingnya.
“Aku hampir aja uhhmm bersihin toilet
lagi uhhmmm, Yol” jawabku setengah ngos-ngosan.
Ekspresi lugu Yola yang khas dengan jari
telunjuk yang di gerak-gerakan ke depan dan eskpresi wajahnya yang terlihat
seperti detective sedang menginterogasi calon buruannya, “pasti pak kasmadi
kasi kamu lolos lagi ya, Mik?”
“Iyaa dong, pak kasmadi kan satpam tua
berjiwa muda” sontak kami berdua terkikik, ya memang pak kasmadi sudah berusia
lebih dari 45 tahun, namun beliau sagat senang bercanda dengan murid murid smp
di sekolahku.
Beberpaa menit kemudian Bu Anggun
memasuki ruangan, wajah bulatnya dengan sedikit lemak bergoyang di bawah
pipinya yang dipoles bedak tebal.Wajahnya yang selalu serius dan hampir tidak
pernah tersenyum membuat para mulit di dalam kelas spontan bungkam.
Plakk…
Aku reflex berkedip mendengar bunyi
tumpukan file yang diletakkannya dengan kasar di atas meja. Kemudian Bu Anggun
mengambil spidol dan mulai menulis di papan. Tanpa instruksi selanjutnya, semua
murid merogoh tas mereka dan mengeluarkan buku catatan.
Kalimat-kalimat
yang diucapkan oleh Bu Anggun seperti masuk kiri keluar kanan di kepalaku.Aku
sangat bosan.Sesekali kulirik Ren yang dengan serius mencatat setiap penjelasan
Bu Anggun.Kupalingkan wajahku ke jendela. Menatap langit biru cerah yang selalu
membuatku tersenyum
“Mik, udah belom?” Bian terlihat tidak
sabaran, sambil menghentak-hentakkan kakinya tandanya ia sudah tidak betah
menunggu lebih lama lagi.
“Lagi bentar, Bi”
“Jangan sampai dilihat sama yang lain,
Ka. Bisa gawat,”pekik Bian.Aku hanya mendecakkan lidahnya.Cewek yang satu ini
memang rewel dan nggak sabaran.Apalagi kalau urusan cinta.Aku memicingkan matan
dan memfokuskan pandanganku pada seorang cowok berkulit putih yang tengah duduk
di pinggir lapangan basket.
“Selesai,” aku menjerit bahagia.Bian
menggulung lukisan itu dan memasukkan ke dalam tasnya.
“Kamu ada ekstrakulikuler hari ini?”
Tanya Bian. Aku mengangguk dengan semangat.
Tanpa mereka sadari seorang cowok
berbadan tinggi dengan sebuah ransel gitar besar terikat di punggungnya tengah
mengendap-ngendap menuju kea rah mereka.
“HAI!” teriak cowok itu tiba-tiba.Aku
dan Bian terkesiap.Melihat cowok jail di sampingnya itu Bian spontan memukulnya
karena kesal.Cowok itu terkekeh.
“Ngapain sih jam segini masih di
sekolah, mau ngeganjenin cowok-cowok basket?”
“Bukan urusanmu, Gas,” Bian menjawab
acuh.Bagas berkedik.Cowok satu ini sebenarnya adalah salah satu cowok eksis di
sekolah.Namun karena kegilaannya pada Naruto, dia menjadi salah satu cowok yang
paling buat aku il-feel. Terutama ketika dia memanggilku dengan nama “Hinata”.
Ishhh, nyebelin banget.
“Hai Hinata, tambah manis aja,” Bagas
mulai ngegombal lagi. Aku mengerucutkan bibirku tanda tak suka. Tapi toh Bagas
akan tetap melakukan itu.
“Ngomong-ngomong Ren mana?”Tanya Bagas
seraya memutar pandangannya.Berusaha mencari sesosok cowok yang bertolak
belakang seratus delapan puluh derajat dengannya. “Loh, biasanya dia selalu
nempel sama kamu, Mik”
“Emang aku pengawalnya,” jawabku ketus,
“Ren lagi di perpus nyari buku fiksi untuk tugas bahasa Indonesia.”
“Oohhh, udah dulu ya aku mau latihan,
cepetan Bi, nanti Pak Yudi marah lagi sama kamu gara-gara telat.”
“Aku pergi dulu ya, Mik.Makasi
gambarannya.”Kata Bian sambil melambaikan tangan.
“Daa, Hinata. Salam buat Sasuke
tercinta,” Bagas tersenyum jahil.Aku mengerti Bagas itu bukan menyukaiku, dia
hanya suka menggoda cewek-cewek di kelas. Dan si sasuke itu, you know lah
maksudnya siapa.
Aku melangkah cepat menuju perpustakaan.Semoga
saja Ren masih disana.Ya pastinya dia masih disana.Dia tidak mungkin
meninggalkanku dan pulang sendirian.
Brak…
Aku melangkah mundur dua langkah.Namun
lawan di depanku malah sudah jatuh terkapar di lantai tak jauh dari tempatku
berdiri.
“Kamu nggak apa, Loli?” Tanya seorang
cewek berambut panjang.Cewek yang terjatuh tadi dibantunya berdiri kemudian
menatapku dengan tatapan dingin.
“Kalau jalan pakai mata dong!”
bentaknya.
“Jalan ya pakai kaki, mata buat lihat,
bukan buat jalan,” balasku angkuh.Cewek itu menghentakkan kaki kanannya dengan
keras di lantai.Ini dia si ratu sekolah.Namanya Lolita dan biasa dipanggil
Loli.Wahy? Kaena katanya nama itu lebih lucu dan buat dia keliatan imut. Ish,
narsis banget.Banyak hal yang nggak aku suka dari dia, tapi yang paling nggak
aku suka adalah sifat bossy nya yang nyebelin itu.
“Udah, Loli. Kita pergi aja. Ngapain sih
berurusan sama cewek kayak gini. Nggak level banget,” cerca Jasmine. Cewek
berkulit seperti porselen blaster Jerman
itu memang terkenal angkuh. Walaupun cantik, tapi kalau sesuai kriteria
brain, beauty, behavior.Dia nggak punya behavior.
Loli menepuk-nepuk bagian belakang
roknya yang tertempeli debu lantai.Jasmine membantunya dengan membawakan
tasnya.Jasmine lebih terlihat seperti pengawalnya Loli, padahal menurutku
Jasmine itu lebih cantik dari Loli.
Aku hanya terdiam di tempat dengan wajah
gusar, melihat tingkah ratu dan ajudannya itu membuatku mual. Sampai seorang
cowok berwajah polos muncul dari balik sudut tembok kelas sambil memegangi tiga
buah buku cover tebal dengan berbagai warna. Seketika Loli dan Jasmine menoleh
ke belakang. Mata Loli terbelalak melihat cowok manis di hadapannya itu.
Kemudian dia jadi salah tingkah
“Hmm…Jas, kita….kita ber..angkat
sekarang aja yuk. Nan-nanti keburu telah, hehe,” Loli tergagap.Jasmine
mengangguk tanda mengerti, kemudian menarik tangan Loli dan menghilang dari
hadapanku dan Ren.
“Mereka kenapa?Kalian ada masalah?”
Ada masalah Ren?Kamu serius nanya gitu.
Bahkan setiap aku bertemu dengan mereka aku akan jadi bermasalah. Aku heran,
kenapa sih setiap di tengah-tengah perdebatanku dan Loli, ketika Ren muncul
Loli akan langsung pergi. Apa aku harus berubah jadi polos supaya tidak menjadi
musuh besar si Ratu sekolah. Hmm…maybe.
“Tadi aku jalan, jalan di sebelah kiri
sesuai rambu-rambu lalu lintas dan norma seorang pejalan kaki. Terus pas
belokan ini, cewek itu muncul tiba-tiba kayak hantu.Pas ketabrak dia jatuh dan
langsung ngumpat-ngumpat aku kayak aku yang salah,” aku menjawab ketus.Ren
mengernyitkan dahi.Masih dengan bibir mengerucut aku mengambil 2 buah buku yang
Ren pegang.
“Ini bukan jalan raya, Ka.Hahahah,” Ren
tertawa keras.Aku menggeram kesal.Yah, Ren benar.Ini memang bukan jalan
raya.Tapi bukankah Ren harus membelaku?
Aku dan Ren berjalan beriringan di
sepanjang koridor.Ren menceritakan kisah “The Nutcracker”.Sebuah buku fantasi
yang baru dibacanya tadi di perpustakaan.Aku mendengarkan dengan antusias.Gaya
bercerita Ren sangat menyenangkan dan terasa hidup.Seolah kau bisa membayangkan
dengan indah bagaimana kisah cerita itu.
Langkah kami terhenti di sebuah pintu
cokelat dengan banyak stiker tertempel di sepanjang pinggirannya. Tepat di
depan pintu itu, berdiri pintu lainnya dengan bahan yang sama. Namun bedanya
pintu itu sangat bersih, dengan plang bertuliskan “SCIENCE CLUB” terpampang
jelas dan rapi di depannya.
“Aku masuk dulu ya, Ka,” Ren memutar
langkahnya ke aras pintu tersebut dan memutar gagangnya. Ketika pintu itu terbuka
beberapa derajat busur, aku dapat mendengar sedikit kebisingan dari murid-murid
di dalam sana.
“Kalau kamu udah selesai, cari aku
kesini ya.”
Ren melambaikan tangannya sambil
perlahan menutup pintu.Setelah bunyi klik terdengar.Baru aku mulai membuka gagang
pintu cokelat di hadapanku.Intensitas bunyi yang 4x lebih bising dari ruangan
yang Ren masuki tadi.
“Mika, welcome,” sapa seorang cowok yang
duduk di dekat jendela. Di hadapannya telah berdiri kokoh kanvas berukuran
sedang dengan sebuah meja berukuran kecil di sampingnya di atas meja tersebut
tercecer berbagai macam cat warna, kuas, dan sebuah kotak tisu.Cowok berambut
cokelat itu mengenakan semacam celemek berwarna putih dengan tali yang
menyilang di leher dan pinggangnya. Senyum manis langsung tergerai di wajahnya.
“Hai.Leo, udah lama disini?” sapaku
sambil melangkah mendekatinya.
“Lumayan, aku lagi buat lukisan untuk
mama.”
Tanpa perintah aku lagsung melongokkan
kepalaku dari balik kanvas di depan Leo. Hanya mengintip sedikit saja aku sudah
terbelalak dibuatnya.Leo memang berbakat.Lukisannya bertemakan seorang ibu yang
sedang mengajarkan seorang anak laki-laki bermain gitar.Ibu berambut hitam
pendek dengan jari-jari yang panjang dan lihai memetik senar-senar dan
melantunkan sebuah melodi yang sangat indah.Aku seakan dapat membayangkan
bagaimana gambar tersebut bercerita.
“Aku yakin kamu pasti pernah mengalami
hal seperti ini.”
Leo tersenyum tipis. Aku dapat membaca
mimiknya bahwa ia sangat bahagia.
“Mama memang hebat, tapi sekarang aku
sudah lebih hebat dari mama,” kata Leo bangga. Senangnya punya mama yang
berbakat seperti mama Leo.Mamaku sepertinya tidak memiliki bakat khusus.
Kadang memasak telur saja sampai
gosong.Tak jarang mama merobek pakaianku saat sedang menyetrika karena tidak
mengaturnpanasnya sesuai bahan pakaian.Tapi setidaknya mama sangat
menyayangiku.Dan aku juga sangat sayang mama.
“Oh ya, kapan-kapan kamu harus main
gitar dan nyanyi lagunya Taylor Swift di depanku, “ tantangku. Walaupun aku tau
Leo tidak berbohong soal kebolehannya ini.Tapi aku ingin melihat cowok ini
menyanyi layaknya seorang musisi terkenal.
“Boleh,” jawabnya mantap.
Nuansa ruangan yang terselimuti oleh
aroma cat dan kanvas yang mendominasi itu terasa sangat indah.Ruangan ini adalah
ruangan untuk “Art Klub”.Ruangan ini hanya berukuran 6x4 meter persegi.Namun
dinding-dinding di ruangan ini dipenuhi oleh lukisan para anggotanya.Bukan
lukisan yang dilukis di kanvas atau di kertas.Tapi lukisan yang langsung
melekat abadi di tembok ruangan.
Ruangan ini hanya memiliki 3 dinding
kosong.Satunya lagi adalah deretan jendela.Namun di bagian atas dan bawah
bingkai jendela itu juga terdapat lukisan kebun bunga dan lagit dengan awan
yang cerah.Di 3 sisi lainnya ada pemandangan perkotaan yang dipotret dari atas
bukit.Di sisi lainnya tempak gambaran layaknya karikatur yang mengisahkan
mengenai global warming.Di sisi lainnya lagi tampak sangat banyak gambar.
Sisi ini adalah sisi yang berukuran 6
meter.Dibagi menjadi 12 buah kotak.Di masing-masing kotak diberi gambar yang
berbeda.konon katanya bagian ini dibuat oleh 12 anggota pertama dari art klub.
Dan mereka mengabadikan eksistensi mereka dalam lukisan tangan yang akan
dilihat oleh penerus-penerus mereka.
Aku duduk di sebuah kursi kosong di
dekat jendela, tepat di sebelah lokasi Leo melukis.Biasanya Leo memang sengaja
menyisakan tempat ini untukku.Dia adalah ketua klub dan juga teman baikku di
klub.Klub ini jarang ditemani oleh Pembina kami, Pak Raka, guru seni rupa.
Biasanya kami datang kesini setiap jam ekstrakulikuler dan mulai melukis
lukisan yang kami inginkan. Namun ada kalanya Pak Raka datang dan memberi tema
lukisan, kemudian akan dipresentasikan di minggu berikutnya.
Walaupun ini adalah kub seni tapi
angota-anggotanya kebanyakan sangat talkative.Seperti Jon yang hobi
mendengarkan musik dengan headphone nya sambil melukis, dan menyanyikan
lagu-lagunya dengan keras.Tiara dan Fiona, dua kembar yang selalu mengobrolkan
apapun peristiwa yang terjadi di sekolah selama satu minggu kadang disebut juga
twin gossiper.Hendri, yang kebiasannya hampir mirip Jo tapi bedanya, Hendri itu
menyalakan music dengan agak keras sehingga seantero ruangan dapat
mendengarkan.
Spesies orang seni memang bervariasi.
Namun, yang aku suka dari mereka, tidak ada yang saling terganggu dengan
aktivitas satu sama lain. Anggota kami memang sedikit, tapi dalam setiap
kompetisi, kami selalu dapat meraih salah satu piala.
Setelah selesai menata alat lukisku dan
mengenakan celemek, aku mulai duduk dan memandangi kertas kosong di hadapanku.Berbeda
dengan Leo, hari ini aku ingin melukis dengan pensil.sama seperti membuat
sketsa wajah. Setelah 1 menit memandangi kertas itu, aku merasa buntu.Kenapa
tidak ada lampu bersinar di atas kepalaku?
“Nggak ada ide?”Tanya Leo yang masih
sibuk memoles lukisannya.Aku hanya membalasnya dengan anggukan.
“Kamu tau, Ka,” kata Leo mulai
bercerita,” Aku melukis sesuai perasaanku, makanya aku selalu tau apa yang aan
aku lukis. Terkadang karena saking banyaknya ide, aku sampai bisa menyelsaikan
3 lukisan bergantian.”Wah aku tidak tahu itu, pikirku.Leo kali ini menghentikan
gerakan gemulai jemarinya dan mulai menoleh kepadaku. Kemudian aku memikirkan
apa yang hari ini aku rasakan.
“Aku lagi bête, kira-kira apa yang bisa
aku lukis?” tanyaku kemudian, sambil mengetuk-ngetukkan pensil di pelipis
kananku.
“Bete kenapa?”Tanya Leo
penasaran.Wajahnya terlihat serius mendengarkan curahan hatiku.Rasanya tidak
masalah jika aku cerita padanya, Leo orang yang dapat dipercaya.
“Lagi sebel samaseseorang,” jawabku
dengan malas, kemudian aku mendengus, “Kira kira aku bisa nglukis apa?” aku
baru sadar Leo belum menjawab pertanyaanku.Melukis adalah salah satu caraku
melupakan masalah, beban, bahkan PR. Makanya mama sering ngelarang aku melukis
kalau dekat-dekat ujian.
“Mika, Mika. Kamu itu orang paling cria
dan cerewet yang pernah aku kenal, kamu bisa sebel juga ya hahahah.”
Aku merengut, tadinya kupikir Leo akan
bertanya dengan simpati, mendengarkan ceritaku dari sabang sampai merauke,
ternyata aku salah. Dia malah menertawaiku, karena aku tidak sesuai dengan yang
dia pikirkan.Maksudku, cerewet, ceria. Apakah seseorang dengan kepribadian
seperti itu tidak pernah merasa kesal dengan orang lain?
“Aku baru saja mau cerita, Leo. Ishh…
Leo nyebelin.”
“Fine.Sekarang kamu boleh cerita, aku
siap dengerin.”
Leo memang pengertian, mungkin dia masuk
sebagai runner up dalam list “Cowok paling pengertian ” di notebooknya, yang
nomor satu siapa lagi selain sahabtku tercinta, Ren.
Aku mulai menceritakan Leo, tentang
bagaimana menyebalkannya Lolita, sombongnya Lolita, dan menyebalkannya
Lolita.Kenapa aku menyebut kata menyebalkan 2 kali.Karena dia memang dobel
dobel nyebelin. How abou Jasmine? Entah kenapa aku tidak terlalu memperhatikan
gadis itu. Mungkin karena bidikanku lebih focus pada Lolita. Aku tidak pernah
bermasalah dengan Jasmine jika tidak Lolita yang mulai duluan.
“uh-umm” Leo mengangguk mendengar
ceritaku, sudah ke sekian kalinya dia merespon demikian.Mungkin karena aku
menbahkan bumbu-bumbu masa lalu pengalaman menyebalkan dengan Lolita.Ia tak
berkomentar apapun sepanjang cerita. Aku juga tidak suka ceritaku dipotong,
tapi bukan berarti aku tidak suka ceritaku hanya dianggap angina lalu.
“…setelah Ren datang, dan Lolita
langsung pergi,” aku mengakhiri cerita.
“Kamu ingat kapan pertamakali kamu sama
Lolita bertengkar?” aku melirik ke atas, sambil memelintir ujung rambutku yang
dikepang dua. Setelah beberapa detik dan
lampu kuning tidak kunjung muncul di atas kepalaku, lalu aku menggeleng.
“Tidak ingat, saat kelas 7 aku sekelas
dengannya, karena Ren belum punya teman jadi aku selalu menemaninya.Tapi karena
Ren itu cerdas dan menonjol di kelas, aku jadi kena efeknya juga.Lolita itu
udah dikenal seantero sekolah, bahkan sejak kelas pertama belum mulai, mungkin
dia iri sama aku,” kataku bangga. Sepanjang aku bermusuhan dengan Lolita, aku
tidak pernah memikirkan apa alas an aku dan dia sellau bertengkar, beda
pendapat, sangat oposit.
“Kamu yakin Cuma karena itu?”
“Entahlah.” kenapa pertanyaan Leo
membuatku berpikir keras.Aku masih memikirkan sata-saat pertama aku bertemu
dengan Lolita.Kenapa?Kenapa?Dan kenapa?Hanya itu yang melayang-layang di
pikiranku.Membenci seseorang adalah hal yang tidak baik, aku tahu itu. Tapi aku
masih tidak mengerti apa yang membuatku begitu membencinya dan dia begiitu
membenciku.
Kepalaku terasa seperti benang kusut.
Aku melirik jam di tangan kananku. Masih ada satu jam lagi sebelum Ren
menjemputku kemari. Aku hampir lupa bahwa aku kesini untuk melukis, bukan untuk
story telling dengan Leo.
“Ka, menurutku kamu harus berbaikan
dengannya,” aku menatap Leo lekat-lekat.Baru saja aku sadar bahwa aku harus
menyelesaikan lukisanku, dan sekarang Leo memancingku untuk membahas si permen
loli.
“Jangan dibahas lagi deh. Mending bantu
aku cari ide,” kataku judes. Leo hanya mengedikkan bahu.
“Oke, kenapa kamu nggak lukis wajah
mamamu.”Wajahku berubah cerah, Leo brilian.Ulang tahun mama masih jauh, jadi
aku bisa menyimpan lukisan ini di kamar dan nggak perlu repot-repot cari hadiah
buat mama.Kenapa aku nggak kepikiran ini sejak pertamakali liat lukisan Leo?
Hum, mungkin karena habis bertengkar.
“Gotcha, ide bagus.”
Aku mulai menggores pensil di atas
kertas putih di hadapanku.Beberapa menit berlalu dan ruangan tampak semakin
sepi.Beberapa anak sudah dijemput orang tua mereka, dan sekarang giliran si
kembar Tiara dan Fiona yang tengah berkemas.
“Leo, Mika, kami duluan ya,” kata Fiona
sambil mengenakan tasnya. Tiara masih berusaha memasukkan barang-barangnya ke
dalam tas nya yang overload itu. Jika dilihat sekilas mereka memang mirip, tapi
sesungguhnya bentuk wajah mereka sedikit berbeda, ditambah Fiona mengenakan
behel yang membuat semua orang bisa membedakan mereka dengan tepat.
“Hati-hati, Tiara, Fiona,” aku melambaikan tangan pada Tiara dan Fiona yang kini tengah membuka
pintu.
“Sampai jumpa,” Leo ikut mengiringi
kepergian mereka.
Beberapa saat kemudian mereka berdua
menghilang dari balik pintu.Kini hanya tersisa Leo dan aku di ruangan itu.Aku
menatap ke arah deretan jendela di samping Leo.Hanya ada beberapa anak yang
masih berlalu lalang di halaman sekolah.
“Mik, kamu nggak pulang?” Tanya Leo
memecah keheningan di antara kami berdua.Suasana art klub yang biasanya ramai
kini terasa sunyi.
“Aku nunggu Ren, dia yang jemput kesini
kalau klub sains udah selesai.”
“Kamu akrab banget sama Ren.” Leo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar