Ini adalah cerpen, akan
aku buat beberapa bagian dan akan aku terbitkan satu-satu. Semoga suka J
Aku ingin bercerita
bagaimana Sherlock Holmes dapat mengetahui kisah sebuah arloji hanya dengan
melihatnya dalam 1 menit. Bagaimana kisah sebuah novel berjudul “Peri Bersayap
Biru” tentang dua insan yang tidak pernah bersatu dalam setiap reinkarnasi
mereka. Aku suka semua kisah yang mengandung unsur fantasi di dalamnya. Kau tau
Harry Potter? Anak laki-laki dengan bakat penyihir yang hebat.
Aku ingin seperti tokoh
dalam kisah-kisah itu. Penuh dengan hal-hal menakjubkan dalam hidup mereka. Selalu
mendapat hari-hari yang takkan pernah kau lupakan hingga usia senja. Namun apakah
setiap manusia mendapat apa yang mereka inginkan? Tentu tidak.
Ketika usiaku 14 tahun,
aku tidak pernah menyangka aku akan berubah. Morfologi maupun fisiologi. Tidak total
sih, tapi ini merupakan sesuatu yang agak sulit membuatku beradaptasi. Haid pertama,
membaca buku mengenai pubertas yang bahkan tak pernah kau bayangkan sebelumnya.
Hari itu, hujan turun
gerimis. Aku lupa membawa payung dan aku sudah menunggu di teras depan kelas
selamat 1 jam. Sambil sesekali mencubit roti sisa makan siangku dan berusaha
membunuh waktu dengan novel yang baru saja aku pinjam di perpustakaan dua hari
lalu. Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore, dan hujan tak kujung berhenti. Dengan
pasrah aku cakupkan kedua belah buku di tanganku dan memasukkannya ke dalam
tas.
Aku mengambil ancang-ancang
dari pinggir teras, sepatuku sudah bisa merasakan air hujan yang akan dengan
cepat meresapinya beberapa detik lagi. Aku membayangkan aku akan berlari
sepanjang jalanan yang tergenang air dengan langkahku yang akan menyeruakannya
genangan tersebut hingga membasahi orang lain? Aku berpikir sekali lagi, tidak.
Sepertinya aku harus
berjalan pelan, pikirku. Setidaknya seragam hari ini tidak akan digunakan lagi
besok. Setelah yakin, aku segera mengambil langkah pertama keluar dari zona
amanku. Namun tiba-tiba, hujan berhenti. Eh?
“Aku bawa dua payung,
kau boleh pakai yang ini.”
Aku menoleh ke arah suara.
Seorang anak laki-laki dengan ekspresi datar sedang menyodorkan payung biru
muda ke arahku. Aku menatap anak itu lekat-lekat? Sepertinya aku mengenalnya.
Beberapa detik kemudian
aku merasa ada yang janggal, kaki kananku terasa dingin.
“Eh!” Refleks yang
lambat. Aku baru ingat jika kaki kananku sudah keluar dari zona aman, dan
sekarang aliran air sudah mengaliri kaos kakiku dengan resapan yang cepat. Aku menatap
anak itu lagi, malu banget.
“Mau atau nggak?” anak
itu bertanya dengan nada datar, sedater ekspresinya. Dia terlihat seperti tak
pernah tersenyum. Walaupun sedikit sebal tapi aku menghargai kebaikannya. Aku menerima
payung yang ia sodorkan. Tanpa basa-basi anak itu langsung menghilang dari
hadapanku dan menerobos gerimis yang kini semakin deras.
Aku menatap punggungnya
yang menjauh di bawah lengkungan abu-abu yang melindunginya. Aku tahu dia,
hanya tahu tapi aku tidak pernah berbicara dengannya. Mungkin aku bisa
berbicara dengannya ketika mengembalikan payung ini, pikirku. Dengan senyum
mengembang di wajahku aku segera menerobos hujan dan mengikutinya dari
belakang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar