Selasa, 01 September 2015

Let The Rain Knows

Ini adalah cerpen, akan aku buat beberapa bagian dan akan aku terbitkan satu-satu. Semoga suka J


Aku ingin bercerita bagaimana Sherlock Holmes dapat mengetahui kisah sebuah arloji hanya dengan melihatnya dalam 1 menit. Bagaimana kisah sebuah novel berjudul “Peri Bersayap Biru” tentang dua insan yang tidak pernah bersatu dalam setiap reinkarnasi mereka. Aku suka semua kisah yang mengandung unsur fantasi di dalamnya. Kau tau Harry Potter? Anak laki-laki dengan bakat penyihir yang hebat.
Aku ingin seperti tokoh dalam kisah-kisah itu. Penuh dengan hal-hal menakjubkan dalam hidup mereka. Selalu mendapat hari-hari yang takkan pernah kau lupakan hingga usia senja. Namun apakah setiap manusia mendapat apa yang mereka inginkan? Tentu tidak.
Ketika usiaku 14 tahun, aku tidak pernah menyangka aku akan berubah. Morfologi maupun fisiologi. Tidak total sih, tapi ini merupakan sesuatu yang agak sulit membuatku beradaptasi. Haid pertama, membaca buku mengenai pubertas yang bahkan tak pernah kau bayangkan sebelumnya.
Hari itu, hujan turun gerimis. Aku lupa membawa payung dan aku sudah menunggu di teras depan kelas selamat 1 jam. Sambil sesekali mencubit roti sisa makan siangku dan berusaha membunuh waktu dengan novel yang baru saja aku pinjam di perpustakaan dua hari lalu. Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore, dan hujan tak kujung berhenti. Dengan pasrah aku cakupkan kedua belah buku di tanganku dan memasukkannya ke dalam tas.

Aku mengambil ancang-ancang dari pinggir teras, sepatuku sudah bisa merasakan air hujan yang akan dengan cepat meresapinya beberapa detik lagi. Aku membayangkan aku akan berlari sepanjang jalanan yang tergenang air dengan langkahku yang akan menyeruakannya genangan tersebut hingga membasahi orang lain? Aku berpikir sekali lagi, tidak.
Sepertinya aku harus berjalan pelan, pikirku. Setidaknya seragam hari ini tidak akan digunakan lagi besok. Setelah yakin, aku segera mengambil langkah pertama keluar dari zona amanku. Namun tiba-tiba, hujan berhenti. Eh?
“Aku bawa dua payung, kau boleh pakai yang ini.”
Aku menoleh ke arah suara. Seorang anak laki-laki dengan ekspresi datar sedang menyodorkan payung biru muda ke arahku. Aku menatap anak itu lekat-lekat? Sepertinya aku mengenalnya.
Beberapa detik kemudian aku merasa ada yang janggal, kaki kananku terasa dingin.
“Eh!” Refleks yang lambat. Aku baru ingat jika kaki kananku sudah keluar dari zona aman, dan sekarang aliran air sudah mengaliri kaos kakiku dengan resapan yang cepat. Aku menatap anak itu lagi, malu banget.
“Mau atau nggak?” anak itu bertanya dengan nada datar, sedater ekspresinya. Dia terlihat seperti tak pernah tersenyum. Walaupun sedikit sebal tapi aku menghargai kebaikannya. Aku menerima payung yang ia sodorkan. Tanpa basa-basi anak itu langsung menghilang dari hadapanku dan menerobos gerimis yang kini semakin deras.
Aku menatap punggungnya yang menjauh di bawah lengkungan abu-abu yang melindunginya. Aku tahu dia, hanya tahu tapi aku tidak pernah berbicara dengannya. Mungkin aku bisa berbicara dengannya ketika mengembalikan payung ini, pikirku. Dengan senyum mengembang di wajahku aku segera menerobos hujan dan mengikutinya dari belakang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar