BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Definisi berdasarkan
Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam dari Ikatan Dokter Anak
Indonesia/IDAI, kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak
berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas
38C, dengan periode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses
intrakranial. Kejang
yang terjadi disebabkan oleh kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan
elektrolit atau metabolik lainnya. Bila ada riwayat kejang tanpa demam
sebelumnya, maka tidak disebut dengan kejang demam. 12
Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun.12
Mayoritas merupakan kejang demam sederhana, hanya
sekitar 20-30% yang kompleks. Hanya 5% kejang demam berakhir ≥30 menit. Kejang demam berkaitan dengan variasi musim. Sebuah penelitian di Jepang menunjukkan 2 puncak
insiden yaitu November-Januari, dan Juni-Agustus, yang berkaitan dengan puncak
infeksi saluran napas atas dan infeksi gastrointestinal.2
Sebuah
penelitian menunjukkan bahwa kejang demam lebih dominan terjadi pada laki-laki.
Penelitian di Amerika melaporkan adanya pengaruh perbedaan ras, 3,5% pada kulit
putih dan 4,2% pada kulit hitam. Risiko rekurensi
kejang demam secara keseluruhan adalah 34,3%. Umur muda saat onset (1 tahun
atau kurang) dan riwayat keluarga memiliki kejang demam dapat meningkatkan
risiko.4 Anak dengan kejang demam sederhana tidak menunjukkan adanya
risiko mortalitas, hemiplegia, atau retardasi mental. Follow-up jangka panjang kejang demam sederhana memiliki risiko
terjadinya epilepsi sedikit lebih tinggi daripada populasi umum.13
2.3 Etiologi
Hingga kini etiologi kejang demam belum
diketahui dengan pasti, namun demam sering disebabkan oleh:5
1.Demam itu sendiri, demam yang disebabkan oleh
infeksi saluran pernapasan, otitis media, pneumonia, gastroentritis dan infeksi
saluran kemih.
2.Efek produk toksik daripada mikroorganisme.
3.Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal
oleh infeksi.
4.Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit.
2.4
Patofisiologi
Peran
dari aktivasi sitokin sedang dalam penelitian, dimana hal ini terlibat dalam
peningkatan suseptibilitas kejang demam berhubungan dengan interleukin
spesifik. Percobaan hewan didapat hasil bahwa hipertermia
mempengaruhi perubahan ekspresi hiperpolarisasi, mengaktivasi gerbang ion chanel nucleotida yang dapat
meningkatkan neuronal excitability dan
akan mempermudah terjadinya kejang demam.14
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan
luar dan dalam. Dalam keadaan normal, konsentrasi ion kalium dalam sel neuron
tinggi dan konsentrasi sodium rendah, begitu juga sebaliknya. Ion K dapat
dengan mudah berdifusi ke dalam sel. Perbedaan konsentrasi ion di dalam dan
luar sel inilah yang menyebabkan terjadinya potensial membran yang mencetuskan kejang.15
Setiap kenaikan 1°C pada kondisi demam mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan O2 meningkat 20%. Karena pada anak sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan
dengan orang dewasa (hanya 15%). Kenaikan suhu dapat mengubah keseimbangan sel
neuron dan dengan cepat terjadinya difusi ion kalium dan natrium melalui membran
listrik.5
Jika suhu tubuh meningkat
maka dapat berdampak pada gangguan fungsi otak dan keseimbangan potensial
membran terganggu sehingga dapat menimbulkan lepas muatan listrik. Lepas muatan
listrik demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel neuron ataupun
sel tetangganya sehingga dapat timbul kejang fokal ataupun umum.15
2.5
Manifestasi Klinik
Kejang
demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik klonik
bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak
tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau
menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang demam
diikuti hemiparesis sementara (Hemiparesis Tood) yang berlangsung bebeerapa jam
sampai hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang
menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama, lebih sering terjadi pada
kejang demam yang pertama.17
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya
berkembang bila suhu tubuh mencapai 390C atau lebih. Kejang khas
yang menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan
periode mengantuk singat pasca-kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama
dari 15 menit menunjukkan penyebab organic seperti proses infeksi atau toksik
yang memerlukan pengamatan menyeluruh.18
Kejang demam diklasifikasikan menjadi 2
berdasarkan bentuk kejangnya, yaitu:27
- Kejang
parsial (fokal, lokal)
1.
Kejang
parsial sederhana
Kesadaran
tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini:
·
Tanda-tanda
motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi tanda atau gejala otonomik :
muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi pupil
·
Gejala
somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar music, merasa seakan jatuh dari
udara, paresthesia.
·
Gejala psikis
: dejavu, rasa takut, visi panoramic
2.
Parsial
komplek
·
Terdapat
gangguan kesadaran, walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial simpleks
·
Dapat
mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap-ngecapkan bibir,
mengunyah, gerakan menongkel yang berulang-ulang pada tangan dan gerakan tangan
lainnya
·
Dapat tanpa
otomatisme : tatapan terpaku
- Kejang
umum (konvulsi atau non konvulsi)
1.
Kejang absens
·
Gangguan
kewaspadaan dan responsivitas
·
Ditandai
dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik
·
Awitan dan
akhiran cepat, setelah itu kembali waspada dan konsentrasi penuh
2.
Kejang
mioklonik
·
Kedutan-kedutan
involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi secara mendadak
·
Sering
terlihat pada orang sehat selama tidur tetapi bila patologik berupa kedutan
kedutan sinkron dari bahu, leher lengan atas dan kaki
·
Umumnya
berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok
·
Kehilangan
kesadaran hanya sesaat
3.
Kejang tonik
klonik
·
Diawali
dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ekstremitas,
batang tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit
·
Dapat
disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
·
Saat tonik
diikuti klonik pada ekstremitas atas dan bawah
·
Latergi,
konvulsi, dan tidur dalam fase postictal
4.
Kejang atonik
·
Hilangnya
tonus secara mendadak sehinga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala
menunduk atau jatuh ke tanah
·
Singkat dan
terjadi tanpa peringatan
Berdasarkan
durasi, bentuk kejang, dan rekurensinya. Klasifikasi kejang dibagi menjadi 2,
yaitu:15
- Kejang demam sederhana
·
Lama
kejang <15 menit
·
Kejang
bersifat umum
·
Tidak
berulang dalam 24 jam
- Kejang demam kompleks
·
Kejang
lama (> 15 menit)
·
Kejang
fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.
·
Berulang
atau terjadi >1 kali dalam 24 jam
2.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis yang baik
dapat membantu menegakkan diagnosis kejang demam. Perlu ditanyakan kepada
orangtua atau pengasuh yang menyaksikan anaknya semasa kejang yang berupa:21
1.
Jenis kejang, lama kejang, kesadaran (kondisi sebelum, diantara, dan setelah
kejang)
2.
Suhu sebelum atau saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak
selepas kejadian kejang
3.
Penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (infeksi saluran pernafasan
akut (ISPA), infeksi saluran kemih (ISK), otitis media akut (OMA), dan
lain-lain)
4. Riwayat penyakit dahulu perlu ditanyakan apakah sebelumnya
pernah mengalami kejang dengan demam atau tanpa demam, riwayat perkembangan
(gangguan neurologis), perlu ditanyakan pola tumbuh kembang anak apakah sesuai
dengan usianya, riwayat penyakit keluarga perlu digali riwayat kejang demam
atau epilepsi dalam keluarga.
5. Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya muntah, diare,
keluhan lain yang menyertai demam, seperti batuk, pilek, sesak nafas yang
menyebabkan hipoksemia, asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia).
- Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik,
nilai keadaan umum dan kesadaran anak, apakah terdapat penurunan kesadaran.
Setelah itu dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital terutamanya suhu tubuh,
apakah tedapat demam, yang dapat dilakukan di beberapa tempat seperti pada
axilla, rektal dan telinga. Pada anak dengan kejang demam penting untuk
melakukan pemeriksaan neurologis, antara lain:20
1. Tanda rangsang
meningeal: kaku kuduk, Kernique, Laseque, Brudzinski I dan Brudzinski II.
2. Pemeriksaan nervus
kranialis.
3. Tanda peningkatan tekanan
intrakranial: ubun ubun besar (UUB) membonjol, papil edema.
4. Tanda infeksi di luar
SSP: ISPA, OMA, ISK dan lain lain.
5.Pemeriksaan
neurologis: tonus, motorik, reflek patologis dan fisiologis.
c. Pemeriksaan penunjang
Beberapa pemeriksaan
penunjang yang diperlukan dalam mengevaluasi kejang demam, diantaranya sebagai
berikut.
1.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan
laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam tetapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. Beberapa
pemeriksaan yang dapat dilakukan atas indikasi seperti darah perifer,
elektrolit, dan gula darah.12
2.
Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan
serebrospinal dengan pungsi lumbal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis. Lumbal pungsi tidak dilakukan pada anak berusia < 12 bulan dengan keadaan umum baik. Indikasi lumbal pungsi antara lain:
adanya tanda rangsang meningeal, curiga infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis, dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik dapat mengaburkan tanda dan
gejala klinis.12
3.
Elektroensefalografi
(EEG)
Pemeriksaan
EEG tidak dilakukan untuk kejang demam kecuali bangkitannya bersifat fokal
untuk menentukan fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.12
4.
Pencitraan (CT-Scan atau
MRI kepala)
Pencitraan
seperti computed tomography scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) tidak rutin dikerjakan pada
anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan dilakukan jika terdapat
indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis
atau paresis nervus kranialis.12
2.7 Diagnosis Banding
Beberapa
diagnosis banding untuk kejang demam antara lain:
a.
Meningitis
Meningitis
adalah peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bakteri.
Gejala didahului oleh infeksi saluran napas atau saluran cerna dengan
peningkatn suhu batuk, pilek, diare dan muntah-muntah yang disertai kaku kuduk
dengan atau tanpa penurunan kesadaran.22
b.
Ensefalitis
Ensefalitis
adalah infeksi jaringan otak oleh berbai macam mikro-organisme, khususnya
virus. Gejala berupa demam, sakit kepala, mual, muntah dan flu. Suhu meningkat
secara mendadak dan kejang berlangsung berjam-jam disertai dengan penurunan
kesadaran.23
c.
Abses otak
Pengumpulan cairan abnormal di dalam jaringan otak baik
intraseluler maupun ekstraseluler oleh bakteri. Gejala berupa mual dan muntah,
mengantuk, kejang, demam, mengalami gangguan fungsi otak lain, hemiparesis.
Pada dasarnya gejala yang diperngaruhi oleh lokasi dan ukuran abses pada otak.24
Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan
pemeriksaan klinis dan cairan serebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama
kadang-kadang diikuti hemiparesis sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena
proses intrakranial. Sinkop juga dapat diprovokasi oleh demam dan sukar
dibedakan dengan kejang demam. Anak dengan kejang demam tinggi dapat mengalami
delirium, menggigil, pucat dan sianosis sehingga menyerupai kejang demam.17
2.8
Penatalaksanaan
Prinsip
penanganan kejang demam terdiri dari 3 hal:
a.
Mengatasi
fase demam akut

Gambar 2.1 Algoritme penanganan kejang akut pada anak.
Sumber: Suwarba IGNM., Mahalini DS., Kari IK.
2010. Kejang demam. Pedoman pelayanan Medis ilmu kesehatan anak RSUP Sanglah
denpasar.
Obat praktis yang dapat diberikan orang tua di
rumah (prehospital) adalah diazepam rektal dengan dosis 0,5 -0,75 mg/kg atau 5
mg untuk anak dengan berat badan < 12 kg dan 10 mg untuk anak dengan berat
badan > 12 kg. Jika kejang belum berhenti dapat diulangi dengan dosis yang
sama dengan interval 5 menit. Jika kejang belum berhenti segera ke rumah sakit.12
b.
Mengatasi
demam, mencari, dan mengobati penyebab demam.
Demam harus
ditangani untuk membuat anak nyaman. Memberi paracetamol sangat efektif dibandingkan
cara manual seperti mengompres dan lebih dapat diterima oleh orang tua pasien.4
Penggunaan aspirin pada anak-anak dengan penyakit akibat virus diketahui
berhubungan dengan perkembanga Reye Syndrome.16
c.
Pengobatan
profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.
Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.
Pengobatan profilaksis kejang demam dapat dibagi dalam profilaksis intermiten
dan profilaksis terus-menerus. Indikasi dan obat yang diberikan sebagai
berikut:12,15
Profilaksis intermiten pada
waktu demam
|
Profilaksis terus menerus
|
- Indikasi:
kelainan neurologis berat, berulang 4 kali atau lebih dalam setahun, usia
<6 bulan, kejang terjadi pada suhu <39C, dan pada episode kejang
sebelumnya suhu tubuh meningkat dengan cepat.
|
- Indikasi: kelainan neurologis
nyata sebelum atau sesudah kejang (hemiparese, paresis Tod’s, palsi serebral,
retardasi mental, hidrosefalus, dll)
|
- Antipiretik : parasetamol
10-15 mg/kgbb/kali, diberikan 4-5 kali/hari. Ibuprofen 5-10 mg/kgbb/kali, 3-4
kali/hari.
- Obat antikonvulsan: diazepam
oral : 0,3 mg/kg setiap 8 jam. Diazepam rektal : 0,5 mg/kg atau 5 mg untuk
BB10 kgsetiap 8 jam.
|
Kejang lama > 15 menit kejang
fokal.
Dapat dipertimbangkan pada:
kejang berulang > 2 kali dalam 24 jam. Bayi usia < 12 bulan. Kejang
demam kompleks berulang > 4 kali.
Obat: phenobarbital 4-5
mg/kg/hari, atau sodium valproat.
Lama pengobatan 1 tahun bebas kejang.
|
Tidak
ada bukti bahwa penatalaksanaan kejang demam sederhana bisa mencegah menjadi
berkembangnya epilepsi.4 Kebanyakan anak tidak memerlukan terapi aapun setelah kejang demam
sederhana pertama terjadi. Pada anak dengan risiko kejang demam berulang,
antikonvulsan harus diberikan unutk managemen pendek akut.16
2.9 Prognosis
Prognosis
baik, tidak mengganggu kognitif, sebagian besar tidak berkembang menjadi
epilepsy. Risiko gangguan kognitif apabila terdapat kelainan neurologi atau
perkembangan dan kejang tanpa demam setelah episode kejang demam. Kejadian
kecacatan sebagai komplikasi kejang demam juga tidak dilaporkan, perkembangan
mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.
Kejang demam akan berulag kembali pada sebagian kasus. Factor risiko
berulangnya kejang demam adalah riwayat kejang demam dalam keluarga, usia
kurang dari 12 tahun, temperature yang rendah saat kejang dan cepatnya kejang
setelah demam. Bila seluruh factor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang
demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat factor tersebut kemungkinan
berulangnya kejang demam hanya 10%-15%.21
TONSILOFARINGITIS AKUT
2.1 Anatomi

Gambar
2.1 Anatomi Faring dan Tonsil
Sumber: Yidiz I, et al. The Role
of Vitamin D in Children with Recurrent Tonsilopharingitis. Italian Journal of
Pediatrics. 2012;38:25
Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan
sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen
spesifik. Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang
terletak pada kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil
membantu mencegah terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap bakteri dan
virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Aktivitas imunologi terbesar
tonsil ditemukan pada usia 3– 10 tahun.22
2.2
Definisi
Istilah faringitis akut digunakan untuk
menunjukkan semua infeksi akut pada faring, termasuk tonsilitis
(tonsilofaringitis) yang berlangsung hingga 14 hari. Faringitis merupakan
peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain di sekitarnya. Infeksi pada
daerah faring atau sekitarnya biasanya ditandai dengan nyeri tenggorok.23
2.4 Etiologi
Bakteri streptococcus
beta-hemotilikus grup A, adenovirus, Haemophilus
influenzae, Haemophilus
parainfluenzae, Epstein-Barr virus dan enterovirus merupakan patogen yang
paling banyak menyebabkan tonsilofaringitis kronis. Faktor risiko dari infeksi
memiliki hubungan dengan beberapa variabel seperti kondisi
lingkungan (paparan patogen, beberapa jenis makanan, higenitas mulut, musim,
lokasi geografis) , variabel individu (umur, resistensi tubuh, imunitas) dan
pengobatan tonsilofaringitis yang tidak adekuat. Tonsilofaringitis berkaitan
dengan satu atau lebih interaksi antara streptokokus beta-hemolitikus grup A
dengan bakteri aerobik, bakteri anaerobik dan virus. Beberapa infeksi mungkin
terjadi secara sinergis contohnya antara Epstein-Barr virus dengan bakteri
anaerobik.11, 24
2.5 Patologi
Bakteri atau virus masuk ke dalam tubuh melalui saluran napas
bagian atas yang menyebabkan infeksi pada hidung atau faring kemudian menyebar
melalui sistem limfa menuju ke tonsil. Proses inflamasi dan infeksi yang terjadi akibat adanya bakteri atau virus patogen pada tonsil sehingga
tonsil membesar dan dapat menghambat keluar masuknya udara. Terdapat keluhan
sakit tenggorokan, nyeri menelan, demam tinggi, bau mulut serta sakit telinga
(otalgia) akibat adanya infeksi yang ditandai dengan kemerahan dan edema pada
faring serta ditemukannya eksudat berwarna putih keabuan pada tonsil. Bakteri
maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring yang kemudian menyebabkan
respon peradangan lokal. Rhinovirus
menyebabkan iritasi mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian besar
peradangan melibatkan nasofaring, uvula, dan palatum mole. Perjalanan
penyakitnya adalah terjadi inokulasi dari agen infeksius di faring yang
menyebabkan peradangan lokal, sehingga menyebabkan eritema faring, tonsil, dan
keduanya.25 Proses radang berulang pada daerah yang mengenai tonsil
yang timbul maka epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada
proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan
mengalami pengerutan sehingga kripte melebar. Secara klinik kripte ini tampak
diisi detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan
akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fosa tonsilaris.
Selain tonsil, faring juga mengalami perubahan yang disebabkan proses radang yang berulang dimana terjadi
perubahan mukosa dinding faring akan tampak tidak rata dan bergranular.24
2.6 Manifestasi Klinis
Pasien akan mengeluh perasaan
mengganjal di tenggorokan, terasa kering dan pernapasan berbau, sakit
tenggorokan dan sakit menelan yang berulang hingga malaise dan demam.
Faringitis dan tonsilitis dapat disebabkan oleh virus maupun bakteri. Pada
faringitis virus akan muncul gejala berupa demam, rinorhe, nyeri tenggorok, dan
sulit menelan, konjunctivitis, batuk. Pada pemeriksaan, faring dan tonsil
tampak hiperemis. Pada faringitis bakteri muncul gejala nyeri kepala, muntah,
nyeri tenggorokan, nyeri abdomen, demam, namun jarang disertai demam dan batuk.
Faring dan tonsil tampak hiperemis. Dalam beberapa hari timbul petechiae pada
palatum dan faring, dan juga pembesaran kelenjar limfa anterior.
Derajat pembesaran tonsil terbagi menjadi:
T0: Tonsil
masuk di dalam fossa atau sudah diangkat
T1: < 25 %
volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring
T2: 25-50%
volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring
T3:
50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring
T4: >75%
volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring

Gambar 2.2 Stadium
Pembesaran Tonsil
Sumber: Brook I. Diagnosis and management of
pharingotonsilitis. Israel journal of emergency medicine. 2008: 8(2):26-34
2.7 Diagnosis
Diagnosis tonsilofaringitis
ditegakkan dengan anamnesis yang dikeluhkan pasien seperti ada perasaan
yang mengganjal di tenggorokan, terasa kering dan pernapasan berbau, sakit
tenggorokan dan sakit menelan yang berulang serta dilakukan pemeriksaan THT
untuk melihat tanda tonsilofaringitis kronis terutama pemeriksaan tenggorok.26
Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk memperkuat diagnosis tonsilofaringitis kronis dapat dilakukan
kultur dan uji resistensi kuman dari sediaan hapusan tonsil (swab). Biakan
kuman yang sering didapatkan pada hapusan tonsil adalah kuman dengan derajat
keganasan yang rendah, seperti Streptokokus
β hemolitikus, Streptokokus viridans,
Stafilokokus, Pneumokokus.26
2.8
Komplikasi
Peradangan ini dapat
menimbulkan komplikasi dekat (sekitar tonsil) dan komplikasi jauh. Komplikasi
jauh terjadi akibat penyebaran secara hematogen/limfogen. Komplikasi dekat
antara lain: peritonsilitis, kristat tonsil yang merupakan sisa makanan
terkumpul dalam kripta mungkin
tertutup oleh jaringan fibrosa
dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih atau
berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel, otitis media, dan sinusitis. Komplikasi jauh
meliputi demam rematik dan penyakit jantung rematik, dan glomerulonefritis. 8,23
2.9 Terapi
Pada tonsilofaringitis akibat virus,
istirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat dapat mengurangi
gejala. Kortikosteroid yang biasanya diberikan pada faringitis adalah
deksamethason dengan dosis pada anak 0,08-0,03 mg/KgBB IM 1x. Analgesik seperti
acetaminofen dan NSID dapat menurunkan demam dan mengurangi nyeri. NSAID yang
dapat digunakan adalah ibuprofen dengan dosis 20mg/kg/hari dengan dosis
terbagi.26
Pemberian antibiotik pada faringitis harus
berdasarkan gelaja klinis dan hasil positif pemeriksaan throat swab. Antibiotik
pada terapi faringitis akut yang disebabkan oleh Streptokokus grup A adalah
penisilin V oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari.23
1. Fadly,
R. Penatalaksanaan kejang demam pada anak. Sari pediatri. 2015. 4(2), p.59
2. Pellock
JM., Seinfield S. Recent Research on Febrile Seizures. J Neurol and
Neurophysiol. Virginia Commonwealth University:USA. 2013. Vol 4. Issue 4.
3. Kakalang
JP., Masloman N., Manoppo JI. Profil Kejang Demam di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2014 - Juni 2016. Jurnal
e-clinic ;4(2).
4. Verity
CM. Febrile Convulsion - A Practical Guide. Child Development Center of
Addenbrooke’s Hospital. Cambridge; 2015.
5. Irdawati.
Kejang demam dan penatalaksanaannya. Berita ilmu keperawatan ISSN 1979-2697. 2009:8(2):143-6
6. Brook
I. Diagnosis and Management of Pharyngotonsilitis. Israel Journal of Emergency
Medicine. 2008: 8(2):26-34
7. Yidiz
I, et al. The Role of Vitamin D in Children with Recurrent Tonsilopharingitis.
Italian Journal of Pediatrics. 2012;38:25
8. Saragih,
A.R., Harahap IS., Rambe AY. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronik di RSUP
H Adam Malik Medan Tahun 2009. Bagian THT FK USU RSUP H Adam Malik Medan.
9. Pharyngitis
: Practise Esentials , Background, Patophysiology, Emedicine .medscape.com N.p.
2017. Web 7 Juni 2017
10. P.
Sanpardi G, Dehoop J, K menko S. Survei Kesehatan Tenggorok pada Masyarakat
Pesisir Pantai Bahu. Jurnal e-clinic (eCl). 2015;3(1):550-53
11. Merechal
FL, Martinot A, Duhamel A, Pruvost I, and Dubos F. Streptococal Pharingitis in
Children: Meta-analysis of clinical decicion rules and their clinical
variables. BMJ Open. 2013:e001482
12. Ismael
S., Soetomenggolo TS., Pusponegoro HD., et al. Rekomendasi Penatalaksanaan
Kejang Demam. Unit Kerja Kooordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2016
13. American
Academy of Pediatrics. Clinical practise guideline-febrile seizures: guideline
for the neurodiagnostic evaluation of the child with a simple febrile seizure.
Pediatrics. Feb 201:127(2).
14. Shellass
R., Engel J. Febrile seizures. University of Michigan. 2014.
15. Suwarba
IGNM., Mahalini DS., Kari IK. Kejang demam. Pedoman Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan
Anak RSUP Sanglah Denpasar. 2010
16. Mahmood
KT., Fareed T., Tabbasum R. Management of febrile seizures in children. J
Biomed Sci and Res. Vol 3 (1). 2011, 353-7
17. Soetomenggolo.
Kejang Demam Dalam: Soetomenggolo, Ismael, Buku
Ajar Neurologi Anak. 2000. Jakarta:
Balai Penerbit IDAI, 244-252
18. Nelson.
Text Book of Pediatrics. 2000. EGC. Jakarta
19. Lyons,
S. 2012. Febrile seizures. Nucleus
Medical Media, Inc. http://www.med.nyu.edu/content?chunkIID=102822.
20. Saharso,
D. Et al. Kejang Demam dalam : Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Indonesia
(IDAI). 2009: 150-153
21. Wong
V, Rosman NP. HK J Pediatri 2002;7:143-51
22. Tan
JS, File TM, Salata RA, Tian MJ. Expert guide to infectious diseases. 2nd Ed.
2008. 365-86p
23. Rahajoe
NN., Supriyatno B., Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008
24. Edgren
AL, Davidson T. Sore Throat. Journal of the American Association. 2004. 13p
25. Bogaerts
M, et al. Physiology of the Mouth and Pharyx, Waldeyer’s ring, Taste, and Smell.
B-ENT. 2012;19(8):13-20
26. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi ke-6.
FKUI. 2015
27. Roy
Meadow, Simon Newell. 2006. Lecture
Notes Pediatrika. Jakarta: Erlangga
NB: maaf kalau masih ada yg salah dan typo, mohon di recheck lagi ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar