Kamis, 04 Januari 2018

Tinjauan Pustaka Kejang Demam dan Tosilofaringitis Akut

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Definisi berdasarkan Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam dari Ikatan Dokter Anak Indonesia/IDAI, kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38C, dengan periode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial. Kejang yang terjadi disebabkan oleh kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan elektrolit atau metabolik lainnya. Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya, maka tidak disebut dengan kejang demam. 12
2.2 Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun.12 Mayoritas merupakan kejang demam sederhana, hanya sekitar 20-30% yang kompleks. Hanya 5% kejang demam berakhir ≥30 menit. Kejang demam berkaitan dengan variasi musim. Sebuah penelitian di Jepang menunjukkan 2 puncak insiden yaitu November-Januari, dan Juni-Agustus, yang berkaitan dengan puncak infeksi saluran napas atas dan infeksi gastrointestinal.2

             Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kejang demam lebih dominan terjadi pada laki-laki. Penelitian di Amerika melaporkan adanya pengaruh perbedaan ras, 3,5% pada kulit putih dan 4,2% pada kulit hitam. Risiko rekurensi kejang demam secara keseluruhan adalah 34,3%. Umur muda saat onset (1 tahun atau kurang) dan riwayat keluarga memiliki kejang demam dapat meningkatkan risiko.4 Anak dengan kejang demam sederhana tidak menunjukkan adanya risiko mortalitas, hemiplegia, atau retardasi mental. Follow-up jangka panjang kejang demam sederhana memiliki risiko terjadinya epilepsi sedikit lebih tinggi daripada populasi umum.13

2.3 Etiologi
Hingga kini etiologi kejang demam belum diketahui dengan pasti, namun demam sering disebabkan oleh:5
1.Demam itu sendiri, demam yang disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan, otitis media, pneumonia, gastroentritis dan infeksi saluran kemih.
2.Efek produk toksik daripada mikroorganisme.
3.Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh infeksi.
4.Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit.

2.4 Patofisiologi
Peran dari aktivasi sitokin sedang dalam penelitian, dimana hal ini terlibat dalam peningkatan suseptibilitas kejang demam berhubungan dengan interleukin spesifik. Percobaan hewan didapat hasil bahwa hipertermia mempengaruhi perubahan ekspresi hiperpolarisasi, mengaktivasi gerbang ion chanel nucleotida yang dapat meningkatkan neuronal excitability dan akan mempermudah terjadinya kejang demam.14
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan luar dan dalam. Dalam keadaan normal, konsentrasi ion kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi sodium rendah, begitu juga sebaliknya. Ion K dapat dengan mudah berdifusi ke dalam sel. Perbedaan konsentrasi ion di dalam dan luar sel inilah yang menyebabkan terjadinya potensial membran yang mencetuskan kejang.15
Setiap kenaikan 1°C pada kondisi demam mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan O2 meningkat 20%. Karena pada anak sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa (hanya 15%). Kenaikan suhu dapat mengubah keseimbangan sel neuron dan dengan cepat terjadinya difusi ion kalium dan natrium melalui membran listrik.5
 Jika suhu tubuh meningkat maka dapat berdampak pada gangguan fungsi otak dan keseimbangan potensial membran terganggu sehingga dapat menimbulkan lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel neuron ataupun sel tetangganya sehingga dapat timbul kejang fokal ataupun umum.15


2.5 Manifestasi Klinik
Kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang demam diikuti hemiparesis sementara (Hemiparesis Tood) yang berlangsung bebeerapa jam sampai hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama, lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama.17
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 390C atau lebih. Kejang khas yang menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode mengantuk singat pasca-kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15 menit menunjukkan penyebab organic seperti proses infeksi atau toksik yang memerlukan pengamatan menyeluruh.18
Kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan bentuk kejangnya, yaitu:27
  1. Kejang parsial (fokal, lokal)
1.      Kejang parsial sederhana
Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini:
·         Tanda-tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi tanda atau gejala otonomik : muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi pupil
·         Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar music, merasa seakan jatuh dari udara, paresthesia.
·         Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramic
2.      Parsial komplek
·         Terdapat gangguan kesadaran, walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial simpleks
·         Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, gerakan menongkel yang berulang-ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya
·         Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku
  1. Kejang umum (konvulsi atau non konvulsi)
1.      Kejang absens
·         Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
·         Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik
·         Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kembali waspada dan konsentrasi penuh
2.      Kejang mioklonik
·         Kedutan-kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi secara mendadak
·         Sering terlihat pada orang sehat selama tidur tetapi bila patologik berupa kedutan kedutan sinkron dari bahu, leher lengan atas dan kaki
·         Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok
·         Kehilangan kesadaran hanya sesaat
3.      Kejang tonik klonik
·         Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit
·         Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
·         Saat tonik diikuti klonik pada ekstremitas atas dan bawah
·         Latergi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal
4.      Kejang atonik
·         Hilangnya tonus secara mendadak sehinga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala menunduk atau jatuh ke tanah
·         Singkat dan terjadi tanpa peringatan
Berdasarkan durasi, bentuk kejang, dan rekurensinya. Klasifikasi kejang dibagi menjadi 2, yaitu:15
  1. Kejang demam sederhana
·         Lama kejang <15 menit
·         Kejang bersifat umum
·         Tidak berulang dalam 24 jam
  1. Kejang demam kompleks
·         Kejang lama (> 15 menit)
·         Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.
·         Berulang atau terjadi >1 kali dalam 24 jam
2.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis yang baik dapat membantu menegakkan diagnosis kejang demam. Perlu ditanyakan kepada orangtua atau pengasuh yang menyaksikan anaknya semasa kejang yang berupa:21
1. Jenis kejang, lama kejang, kesadaran (kondisi sebelum, diantara, dan setelah kejang)
2. Suhu sebelum atau saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak selepas kejadian kejang
3. Penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), infeksi saluran kemih (ISK), otitis media akut (OMA), dan lain-lain)
4. Riwayat penyakit dahulu perlu ditanyakan apakah sebelumnya pernah mengalami kejang dengan demam atau tanpa demam, riwayat perkembangan (gangguan neurologis), perlu ditanyakan pola tumbuh kembang anak apakah sesuai dengan usianya, riwayat penyakit keluarga perlu digali riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga.
5. Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya muntah, diare, keluhan lain yang menyertai demam, seperti batuk, pilek, sesak nafas yang menyebabkan hipoksemia, asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia).
  1. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, nilai keadaan umum dan kesadaran anak, apakah terdapat penurunan kesadaran. Setelah itu dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital terutamanya suhu tubuh, apakah tedapat demam, yang dapat dilakukan di beberapa tempat seperti pada axilla, rektal dan telinga. Pada anak dengan kejang demam penting untuk melakukan pemeriksaan neurologis, antara lain:20
1. Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, Kernique, Laseque, Brudzinski I dan Brudzinski II.
2. Pemeriksaan nervus kranialis.
3. Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun ubun besar (UUB) membonjol, papil edema.
4. Tanda infeksi di luar SSP: ISPA, OMA, ISK dan lain lain.
5.Pemeriksaan neurologis: tonus, motorik, reflek patologis dan fisiologis.
c. Pemeriksaan penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam mengevaluasi kejang demam, diantaranya sebagai berikut.
1.      Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan atas indikasi seperti darah perifer, elektrolit, dan gula darah.12
2.      Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis. Lumbal pungsi tidak dilakukan pada anak berusia < 12 bulan dengan keadaan umum baik. Indikasi lumbal pungsi antara lain: adanya tanda rangsang meningeal, curiga infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik dapat mengaburkan tanda dan gejala klinis.12
3.      Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak dilakukan untuk kejang demam kecuali bangkitannya bersifat fokal untuk menentukan fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.12
4.      Pencitraan (CT-Scan atau MRI kepala)
Pencitraan seperti computed tomography scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) tidak rutin dikerjakan pada anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan dilakukan jika terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis atau paresis nervus kranialis.12
2.7  Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk kejang demam antara lain:
a.       Meningitis
Meningitis adalah peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bakteri. Gejala didahului oleh infeksi saluran napas atau saluran cerna dengan peningkatn suhu batuk, pilek, diare dan muntah-muntah yang disertai kaku kuduk dengan atau tanpa penurunan kesadaran.22
b.      Ensefalitis
Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak oleh berbai macam mikro-organisme, khususnya virus. Gejala berupa demam, sakit kepala, mual, muntah dan flu. Suhu meningkat secara mendadak dan kejang berlangsung berjam-jam disertai dengan penurunan kesadaran.23
c.       Abses otak
Pengumpulan  cairan abnormal di dalam jaringan otak baik intraseluler maupun ekstraseluler oleh bakteri. Gejala berupa mual dan muntah, mengantuk, kejang, demam, mengalami gangguan fungsi otak lain, hemiparesis. Pada dasarnya gejala yang diperngaruhi oleh lokasi dan ukuran abses pada otak.24
Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan cairan serebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang diikuti hemiparesis sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses intrakranial. Sinkop juga dapat diprovokasi oleh demam dan sukar dibedakan dengan kejang demam. Anak dengan kejang demam tinggi dapat mengalami delirium, menggigil, pucat dan sianosis sehingga menyerupai kejang demam.17

2.8 Penatalaksanaan
Prinsip penanganan kejang demam terdiri dari 3 hal:
a.       Mengatasi fase demam akut
Gambar 2.1 Algoritme penanganan kejang akut pada anak.
Sumber: Suwarba IGNM., Mahalini DS., Kari IK. 2010. Kejang demam. Pedoman pelayanan Medis ilmu kesehatan anak RSUP Sanglah denpasar.
Obat praktis yang dapat diberikan orang tua di rumah (prehospital) adalah diazepam rektal dengan dosis 0,5 -0,75 mg/kg atau 5 mg untuk anak dengan berat badan < 12 kg dan 10 mg untuk anak dengan berat badan > 12 kg. Jika kejang belum berhenti dapat diulangi dengan dosis yang sama dengan interval 5 menit. Jika kejang belum berhenti segera ke rumah sakit.12
b.      Mengatasi demam, mencari, dan mengobati penyebab demam.
Demam harus ditangani untuk membuat anak nyaman. Memberi paracetamol sangat efektif dibandingkan cara manual seperti mengompres dan lebih dapat diterima oleh orang tua pasien.4 Penggunaan aspirin pada anak-anak dengan penyakit akibat virus diketahui berhubungan dengan perkembanga Reye Syndrome.16
c.       Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.
Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam. Pengobatan profilaksis kejang demam dapat dibagi dalam profilaksis intermiten dan profilaksis terus-menerus. Indikasi dan obat yang diberikan sebagai berikut:12,15
Profilaksis intermiten pada waktu demam
Profilaksis terus menerus
- Indikasi: kelainan neurologis berat, berulang 4 kali atau lebih dalam setahun, usia <6 bulan, kejang terjadi pada suhu <39C, dan pada episode kejang sebelumnya suhu tubuh meningkat dengan cepat.
- Indikasi: kelainan neurologis nyata sebelum atau sesudah kejang (hemiparese, paresis Tod’s, palsi serebral, retardasi mental, hidrosefalus, dll)
- Antipiretik : parasetamol 10-15 mg/kgbb/kali, diberikan 4-5 kali/hari. Ibuprofen 5-10 mg/kgbb/kali, 3-4 kali/hari.
- Obat antikonvulsan: diazepam oral : 0,3 mg/kg setiap 8 jam. Diazepam rektal : 0,5 mg/kg atau 5 mg untuk BB10 kgsetiap 8 jam.
Kejang lama > 15 menit kejang fokal.
Dapat dipertimbangkan pada: kejang berulang > 2 kali dalam 24 jam. Bayi usia < 12 bulan. Kejang demam kompleks berulang > 4 kali.
Obat: phenobarbital 4-5 mg/kg/hari, atau sodium valproat.
 Lama pengobatan 1 tahun bebas kejang.

Tidak ada bukti bahwa penatalaksanaan kejang demam sederhana bisa mencegah menjadi berkembangnya epilepsi.4 Kebanyakan anak tidak memerlukan terapi aapun setelah kejang demam sederhana pertama terjadi. Pada anak dengan risiko kejang demam berulang, antikonvulsan harus diberikan unutk managemen pendek akut.16
2.9  Prognosis
Prognosis baik, tidak mengganggu kognitif, sebagian besar tidak berkembang menjadi epilepsy. Risiko gangguan kognitif apabila terdapat kelainan neurologi atau perkembangan dan kejang tanpa demam setelah episode kejang demam. Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam juga tidak dilaporkan, perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Kejang demam akan berulag kembali pada sebagian kasus. Factor risiko berulangnya kejang demam adalah riwayat kejang demam dalam keluarga, usia kurang dari 12 tahun, temperature yang rendah saat kejang dan cepatnya kejang setelah demam. Bila seluruh factor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat factor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10%-15%.21












TONSILOFARINGITIS AKUT
2.1 Anatomi

edwards-anatomy-of-pharynx-4-638.jpg





Gambar 2.1 Anatomi Faring dan Tonsil
Sumber: Yidiz I, et al. The Role of Vitamin D in Children with Recurrent Tonsilopharingitis. Italian Journal of Pediatrics. 2012;38:25
Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan  mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang terletak pada kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu mencegah terjadinya infeksi. Tonsil bertindak  seperti filter untuk memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3– 10 tahun.22
2.2 Definisi
Istilah faringitis akut digunakan untuk menunjukkan semua infeksi akut pada faring, termasuk tonsilitis (tonsilofaringitis) yang berlangsung hingga 14 hari. Faringitis merupakan peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain di sekitarnya. Infeksi pada daerah faring atau sekitarnya biasanya ditandai dengan nyeri tenggorok.23
2.4 Etiologi
Bakteri streptococcus beta-hemotilikus grup A, adenovirus, Haemophilus influenzae, Haemophilus parainfluenzae, Epstein-Barr virus dan enterovirus merupakan patogen yang paling banyak menyebabkan tonsilofaringitis kronis. Faktor risiko dari infeksi memiliki hubungan dengan beberapa variabel seperti kondisi lingkungan (paparan patogen, beberapa jenis makanan, higenitas mulut, musim, lokasi geografis) , variabel individu (umur, resistensi tubuh, imunitas) dan pengobatan tonsilofaringitis yang tidak adekuat. Tonsilofaringitis berkaitan dengan satu atau lebih interaksi antara streptokokus beta-hemolitikus grup A dengan bakteri aerobik, bakteri anaerobik dan virus. Beberapa infeksi mungkin terjadi secara sinergis contohnya antara Epstein-Barr virus dengan bakteri anaerobik.11, 24
2.5       Patologi
Bakteri atau virus masuk ke dalam tubuh melalui saluran napas bagian atas yang menyebabkan infeksi pada hidung atau faring kemudian menyebar melalui sistem limfa menuju ke tonsil. Proses inflamasi dan infeksi yang terjadi akibat adanya bakteri atau virus patogen pada tonsil sehingga tonsil membesar dan dapat menghambat keluar masuknya udara. Terdapat keluhan sakit tenggorokan, nyeri menelan, demam tinggi, bau mulut serta sakit telinga (otalgia) akibat adanya infeksi yang ditandai dengan kemerahan dan edema pada faring serta ditemukannya eksudat berwarna putih keabuan pada tonsil. Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring yang kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus menyebabkan iritasi mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian besar peradangan melibatkan nasofaring, uvula, dan palatum mole. Perjalanan penyakitnya adalah terjadi inokulasi dari agen infeksius di faring yang menyebabkan peradangan lokal, sehingga menyebabkan eritema faring, tonsil, dan keduanya.25 Proses radang berulang pada daerah yang mengenai tonsil yang timbul maka epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripte melebar. Secara klinik kripte ini tampak diisi detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fosa tonsilaris. Selain tonsil, faring juga mengalami perubahan yang disebabkan  proses radang yang berulang dimana terjadi perubahan mukosa dinding faring akan tampak tidak rata dan bergranular.24

2.6       Manifestasi Klinis
            Pasien akan mengeluh perasaan mengganjal di tenggorokan, terasa kering dan pernapasan berbau, sakit tenggorokan dan sakit menelan yang berulang hingga malaise dan demam. Faringitis dan tonsilitis dapat disebabkan oleh virus maupun bakteri. Pada faringitis virus akan muncul gejala berupa demam, rinorhe, nyeri tenggorok, dan sulit menelan, konjunctivitis, batuk. Pada pemeriksaan, faring dan tonsil tampak hiperemis. Pada faringitis bakteri muncul gejala nyeri kepala, muntah, nyeri tenggorokan, nyeri abdomen, demam, namun jarang disertai demam dan batuk. Faring dan tonsil tampak hiperemis. Dalam beberapa hari timbul petechiae pada palatum dan faring, dan juga pembesaran kelenjar limfa anterior.
Derajat pembesaran tonsil terbagi menjadi:
T0: Tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat
T1: < 25 % volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring
T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring
T3: 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring
T4: >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring
tonsil_size3.jpg









Gambar 2.2 Stadium Pembesaran Tonsil
Sumber: Brook I. Diagnosis and management of pharingotonsilitis. Israel journal of emergency medicine. 2008: 8(2):26-34



2.7       Diagnosis
            Diagnosis tonsilofaringitis  ditegakkan dengan anamnesis yang dikeluhkan pasien seperti ada perasaan yang mengganjal di tenggorokan, terasa kering dan pernapasan berbau, sakit tenggorokan dan sakit menelan yang berulang serta dilakukan pemeriksaan THT untuk melihat tanda tonsilofaringitis kronis terutama pemeriksaan tenggorok.26
            Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosis tonsilofaringitis kronis dapat dilakukan kultur dan uji resistensi kuman dari sediaan hapusan tonsil (swab). Biakan kuman yang sering didapatkan pada hapusan tonsil adalah kuman dengan derajat keganasan yang rendah, seperti Streptokokus β hemolitikus, Streptokokus viridans, Stafilokokus, Pneumokokus.26
2.8  Komplikasi
Peradangan ini dapat menimbulkan komplikasi dekat (sekitar tonsil) dan komplikasi jauh. Komplikasi jauh terjadi akibat penyebaran secara hematogen/limfogen. Komplikasi dekat antara lain: peritonsilitis, kristat tonsil yang merupakan sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin  tertutup  oleh jaringan fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih atau berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel, otitis media, dan sinusitis. Komplikasi jauh meliputi demam rematik dan penyakit jantung rematik, dan glomerulonefritis. 8,23

2.9       Terapi
            Pada tonsilofaringitis akibat virus, istirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat dapat mengurangi gejala. Kortikosteroid yang biasanya diberikan pada faringitis adalah deksamethason dengan dosis pada anak 0,08-0,03 mg/KgBB IM 1x. Analgesik seperti acetaminofen dan NSID dapat menurunkan demam dan mengurangi nyeri. NSAID yang dapat digunakan adalah ibuprofen dengan dosis 20mg/kg/hari dengan dosis terbagi.26
Pemberian antibiotik pada faringitis harus berdasarkan gelaja klinis dan hasil positif pemeriksaan throat swab. Antibiotik pada terapi faringitis akut yang disebabkan oleh Streptokokus grup A adalah penisilin V oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari.23


1.      Fadly, R. Penatalaksanaan kejang demam pada anak. Sari pediatri. 2015.  4(2), p.59
2.      Pellock JM., Seinfield S. Recent Research on Febrile Seizures. J Neurol and Neurophysiol. Virginia Commonwealth University:USA. 2013. Vol 4. Issue 4.
3.      Kakalang JP., Masloman N., Manoppo JI. Profil Kejang Demam di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2014 - Juni 2016. Jurnal e-clinic ;4(2).
4.      Verity CM. Febrile Convulsion - A Practical Guide. Child Development Center of Addenbrooke’s Hospital. Cambridge; 2015.
5.      Irdawati. Kejang demam dan penatalaksanaannya. Berita ilmu keperawatan ISSN 1979-2697. 2009:8(2):143-6
6.      Brook I. Diagnosis and Management of Pharyngotonsilitis. Israel Journal of Emergency Medicine. 2008: 8(2):26-34
7.      Yidiz I, et al. The Role of Vitamin D in Children with Recurrent Tonsilopharingitis. Italian Journal of Pediatrics. 2012;38:25
8.      Saragih, A.R., Harahap IS., Rambe AY. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronik di RSUP H Adam Malik Medan Tahun 2009. Bagian THT FK USU  RSUP H Adam Malik Medan.
9.      Pharyngitis : Practise Esentials , Background, Patophysiology, Emedicine .medscape.com N.p. 2017. Web 7 Juni 2017
10.  P. Sanpardi G, Dehoop J, K menko S. Survei Kesehatan Tenggorok pada Masyarakat Pesisir Pantai Bahu. Jurnal e-clinic (eCl). 2015;3(1):550-53
11.  Merechal FL, Martinot A, Duhamel A, Pruvost I, and Dubos F. Streptococal Pharingitis in Children: Meta-analysis of clinical decicion rules and their clinical variables. BMJ Open. 2013:e001482
12.  Ismael S., Soetomenggolo TS., Pusponegoro HD., et al. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Kooordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016
13.  American Academy of Pediatrics. Clinical practise guideline-febrile seizures: guideline for the neurodiagnostic evaluation of the child with a simple febrile seizure. Pediatrics. Feb 201:127(2).
14.  Shellass R., Engel J. Febrile seizures. University of Michigan. 2014.
15.  Suwarba IGNM., Mahalini DS., Kari IK. Kejang demam. Pedoman Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah Denpasar. 2010
16.  Mahmood KT., Fareed T., Tabbasum R. Management of febrile seizures in children. J Biomed Sci and Res. Vol 3 (1). 2011, 353-7
17.  Soetomenggolo. Kejang Demam Dalam: Soetomenggolo, Ismael, Buku Ajar Neurologi Anak. 2000. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 244-252
18.  Nelson. Text Book of Pediatrics. 2000. EGC. Jakarta
19.  Lyons, S. 2012. Febrile seizures. Nucleus Medical Media, Inc. http://www.med.nyu.edu/content?chunkIID=102822.
20.  Saharso, D. Et al. Kejang Demam dalam : Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Indonesia (IDAI). 2009: 150-153
21.  Wong V, Rosman NP. HK J Pediatri 2002;7:143-51
22.  Tan JS, File TM, Salata RA, Tian MJ. Expert guide to infectious diseases. 2nd Ed. 2008. 365-86p
23.  Rahajoe NN., Supriyatno B., Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008
24.  Edgren AL, Davidson T. Sore Throat. Journal of the American Association. 2004. 13p
25.  Bogaerts M, et al. Physiology of the Mouth and Pharyx, Waldeyer’s ring, Taste, and Smell. B-ENT. 2012;19(8):13-20
26.  Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi ke-6. FKUI. 2015
27.  Roy Meadow, Simon Newell. 2006. Lecture Notes Pediatrika. Jakarta: Erlangga

NB: maaf kalau masih ada yg salah dan typo, mohon di recheck lagi ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar