Rabu, 24 Oktober 2012

cerpen ANTONIM


ANTONIM

Ia takkan pernah tahu apa yang terjadi pada hidupnya, sebagaimanapun ia mencoba untuk melawan arus deras dari sungai itu, namun tetap takkan bisa. Ia akan tetap megikuti aliran sungai itu. Hingga akhirnya muara, hingga genangan itu mengelilingi asanya sendiri.


Randi membuka helai demi helai buku tua nan lusuh itu, membaca kata demi patah kata, senyum kecil tersungging dibibirnya, seakan menyiratkan sebuah kegembiraan. “akhirnya kutemukan jawabannya”, katanya pada dirinya sendiri. Bangga karea telah memecahkan soal yang diberikan oleh gurunya kemarin. Ia memang anak yang cerdas, begitlah kata ayahnya kepada tetangga tetangga disekitar rumahnya. Ia adalah anak yang dianggap, dihirmati, dihargai, dan diteladani. Pernah, sekali sahabat tetangganya adaah seorang kaya nan terpelajar berkunjung , dan ia ingin bertemu Randi, sepertinya anak itu sangat cerdas dimata mereka semua. Iya, Randi yang cerdas, membawa nama kebanggaan orang tuanya.

Namun tiada kata sempurna dalam hidup ini, siang malam,cerah dan suram, hal tersebut akan terus menjadi bayangan tak terabaikan, selalu menemani jalan yang kita pilih, selalu menghiasi celah-celah perasaan dan kehidupan. Itulah yang dialami Randi, semua penghargaan, keteladanan, dan hormat dalam keluarganya, tak pernah ia rasakan disekolah. Ia selalu menjadi blan-bulanan anak-anak yang menganggap diri mereka berharga. Merendahkan sosok lembut nan lugu itu. Benar saja, ia tak pernah melawan apalagi membantah, karena ia tahu ia bukanlah mereka, ia bukanlah Randi yang jahat.

Ketik semua orang memperdebatkan sesuatu diklas, ia hanya terdiam dan memahami sendiri. Ia nggan untuk mengeluarkan kata-kata walau sepatahpun, karena ia tahu apa yang akan dikatakan teman-temannya. Ia pasti akan diejek, itu hanya akan membuat batinnya tambah sakit, semakin dalam, sedalam palng amudra tanpa dasar.

“hai, teman-teman. Bagaimana kalau pemeran kakeknya Randi saja”, kata seorangg teman Randi. Tiba-tiba ia tetrsadar, teman-emannya baru saja mengnggapya, ia dihargai, mungkin inilah awal ia akan dapat menjadi salah satu bagian penting dalam pergaulannya. Buka Randi yang dulu, namun Randi ini adalah Randi yang baru, baru bangkit dari terpurung keras yang selama ini menutupinya, keluar menuju dunia bari yang entah dimana ia akan berakhir.

Dengan semangat ia ambil tongkat tua dirumahnya, menghafal naskah drama yang akan ia mainkan esok, sekali-kali ia tertawa, membayangkan hal apa yang akan terjadi pada saat drama itu berlangsung, teman-temannya pasti apan mengirinya dengan tepuk tangan, sorak-sorai memanggil namnya yang sedang berlakon didepan panggung. Membakar semangat seorang actor yang siap menjadi terkenal, menjumpai para penggemarnya, yang setiaa menantinya dielakang.

Namun, kenyataan memang tak semanis apa yang kita impikan. Semua sorakan itu, gemuruh tepuk tangan yang selama ini ia bayangkan, kini tak didengarnya. Hanya suara orang berbisik-bisik, sekali-kali tertawa, semangat yang ia rasakan kini mulai padam dan beku. Ia tak bisa, ia tak bisa berlakon didepan panggung sebagaimana ia melakukannya saat latihan, ia sangat malu. Ingin rasanya ia berlari pulang dan mengurung diri dikamar hingga tak seorang pun dapat melihatnya. Randi demam panggung, seama ini ia sulit membaur dengan anak-anak sekelasnya, sulit mengerti apa yang ,mereka tertawakan, ia hanyalah anak lug pendiam. 

Setelah hari itu ia belajar bahwa ia tak seharusnya disana, ia inginpergi, pindah kesekolah lain. Yang mungkin akan lebih menghargainya. Sebagaimana ia dihargai oleh keluarganya, dibanggakan, dan dihormati.

Ketika siang itu, mentari bersinar dengan teriknya diatas kepalanya. Ia berlari menuju kelas dan bersiap untuk membacakan artikel kepribadian dalam pelajaran sosiologi. Wajahnya dipenuhi keringat, diketuknyaah pintu kayu itu, melangkah tertunduk dengan canggung. Berdiri dihadapan semua teman-teman sekelasnya. Tanpa piker panjang ia membacakan tulisannya,
“dear mama dan papa. Aku sangat kagum pada kalian, kalian dapat menerimaku sebagai anak kalian degan lapang dada dan tangan terbuka. Kalian menghargai semua apa yang teah kulalui, kalian membuatku semangat dan terus berjuang demi hidupku. 

Namun maafkanlah aku, ma, pa. apa yang kalian anggap selama ini tentangku bukanlah semuanya, aku hanyaah seorang laki-laki ligi nan bodoh. Aku tak pantas kalian banggakan, sesuangguhnya semua itu hanyalah anggapan kalian, aku tak sanggup, aku tak bisa. Aku takkan pernah bisa jadi yang terbaik. Aku hanyalah seekor kelinci dalam kumpulan harimau, aku hanyalah setitik api ditengah dersnya hujan. Hidupku sesungguhnya hanyalah sebuah kata bermakna antonym, semus itu berbeda. Dan selama ini aku ingin membuat kalian sadar, bahwa aku bukanlah apa-apa disini. Aku hanyalah sebuah ilalang, yang mencari setetes air dalam gersangnya gurun berpasir”.

Tiba-tiba suara sorak sorai dan tepuk tangan bergemuruh ditelinganya, semua teman-temannya memberi presiasi tinggi padanya. Kali ini, baru kai ini ia merasakan pujian yang selama ini hanya ada dalam impiannya. Hanya menjadi baying-bayang semua dalam cermin yang ia pasang dalam benaknya sendiir. 

Kini ia merasakan, bahwa sesuangguhnya ia masih memiliki teman. Ia masih memiliki harapan utuk bisa bergaul, hanya saja selama ini hati nuraninya belum memihak, sebagaimana angina takkan pernah tahu kemana ia akan berhembus. 

maaf kalau ada salah ketik, tapi boleh copas kok kalau suka ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar