ANTONIM
Ia takkan pernah tahu apa yang terjadi pada
hidupnya, sebagaimanapun ia mencoba untuk melawan arus deras dari sungai itu,
namun tetap takkan bisa. Ia akan tetap megikuti aliran sungai itu. Hingga
akhirnya muara, hingga genangan itu mengelilingi asanya sendiri.
Randi membuka helai demi helai buku tua nan lusuh
itu, membaca kata demi patah kata, senyum kecil tersungging dibibirnya, seakan
menyiratkan sebuah kegembiraan. “akhirnya kutemukan jawabannya”, katanya pada
dirinya sendiri. Bangga karea telah memecahkan soal yang diberikan oleh gurunya
kemarin. Ia memang anak yang cerdas, begitlah kata ayahnya kepada tetangga
tetangga disekitar rumahnya. Ia adalah anak yang dianggap, dihirmati, dihargai,
dan diteladani. Pernah, sekali sahabat tetangganya adaah seorang kaya nan
terpelajar berkunjung , dan ia ingin bertemu Randi, sepertinya anak itu sangat
cerdas dimata mereka semua. Iya, Randi yang cerdas, membawa nama kebanggaan
orang tuanya.
Namun tiada kata sempurna dalam hidup ini, siang
malam,cerah dan suram, hal tersebut akan terus menjadi bayangan tak terabaikan,
selalu menemani jalan yang kita pilih, selalu menghiasi celah-celah perasaan
dan kehidupan. Itulah yang dialami Randi, semua penghargaan, keteladanan, dan
hormat dalam keluarganya, tak pernah ia rasakan disekolah. Ia selalu menjadi
blan-bulanan anak-anak yang menganggap diri mereka berharga. Merendahkan sosok
lembut nan lugu itu. Benar saja, ia tak pernah melawan apalagi membantah,
karena ia tahu ia bukanlah mereka, ia bukanlah Randi yang jahat.
Ketik semua orang memperdebatkan sesuatu diklas, ia
hanya terdiam dan memahami sendiri. Ia nggan untuk mengeluarkan kata-kata walau
sepatahpun, karena ia tahu apa yang akan dikatakan teman-temannya. Ia pasti
akan diejek, itu hanya akan membuat batinnya tambah sakit, semakin dalam,
sedalam palng amudra tanpa dasar.
“hai, teman-teman. Bagaimana kalau pemeran kakeknya
Randi saja”, kata seorangg teman Randi. Tiba-tiba ia tetrsadar, teman-emannya
baru saja mengnggapya, ia dihargai, mungkin inilah awal ia akan dapat menjadi
salah satu bagian penting dalam pergaulannya. Buka Randi yang dulu, namun Randi
ini adalah Randi yang baru, baru bangkit dari terpurung keras yang selama ini
menutupinya, keluar menuju dunia bari yang entah dimana ia akan berakhir.
Dengan semangat ia ambil tongkat tua dirumahnya,
menghafal naskah drama yang akan ia mainkan esok, sekali-kali ia tertawa,
membayangkan hal apa yang akan terjadi pada saat drama itu berlangsung,
teman-temannya pasti apan mengirinya dengan tepuk tangan, sorak-sorai memanggil
namnya yang sedang berlakon didepan panggung. Membakar semangat seorang actor
yang siap menjadi terkenal, menjumpai para penggemarnya, yang setiaa menantinya
dielakang.
Namun, kenyataan memang tak semanis apa yang kita
impikan. Semua sorakan itu, gemuruh tepuk tangan yang selama ini ia bayangkan,
kini tak didengarnya. Hanya suara orang berbisik-bisik, sekali-kali tertawa,
semangat yang ia rasakan kini mulai padam dan beku. Ia tak bisa, ia tak bisa
berlakon didepan panggung sebagaimana ia melakukannya saat latihan, ia sangat
malu. Ingin rasanya ia berlari pulang dan mengurung diri dikamar hingga tak
seorang pun dapat melihatnya. Randi demam panggung, seama ini ia sulit membaur
dengan anak-anak sekelasnya, sulit mengerti apa yang ,mereka tertawakan, ia
hanyalah anak lug pendiam.
Setelah hari itu ia belajar bahwa ia tak seharusnya
disana, ia inginpergi, pindah kesekolah lain. Yang mungkin akan lebih
menghargainya. Sebagaimana ia dihargai oleh keluarganya, dibanggakan, dan
dihormati.
Ketika siang itu, mentari bersinar dengan teriknya
diatas kepalanya. Ia berlari menuju kelas dan bersiap untuk membacakan artikel
kepribadian dalam pelajaran sosiologi. Wajahnya dipenuhi keringat, diketuknyaah
pintu kayu itu, melangkah tertunduk dengan canggung. Berdiri dihadapan semua
teman-teman sekelasnya. Tanpa piker panjang ia membacakan tulisannya,
“dear mama dan papa. Aku sangat kagum pada kalian,
kalian dapat menerimaku sebagai anak kalian degan lapang dada dan tangan
terbuka. Kalian menghargai semua apa yang teah kulalui, kalian membuatku
semangat dan terus berjuang demi hidupku.
Namun maafkanlah aku, ma, pa. apa
yang kalian anggap selama ini tentangku bukanlah semuanya, aku hanyaah seorang
laki-laki ligi nan bodoh. Aku tak pantas kalian banggakan, sesuangguhnya semua
itu hanyalah anggapan kalian, aku tak sanggup, aku tak bisa. Aku takkan pernah
bisa jadi yang terbaik. Aku hanyalah seekor kelinci dalam kumpulan harimau, aku
hanyalah setitik api ditengah dersnya hujan. Hidupku sesungguhnya hanyalah
sebuah kata bermakna antonym, semus itu berbeda. Dan selama ini aku ingin
membuat kalian sadar, bahwa aku bukanlah apa-apa disini. Aku hanyalah sebuah
ilalang, yang mencari setetes air dalam gersangnya gurun berpasir”.
Tiba-tiba suara sorak sorai dan tepuk tangan
bergemuruh ditelinganya, semua teman-temannya memberi presiasi tinggi padanya.
Kali ini, baru kai ini ia merasakan pujian yang selama ini hanya ada dalam
impiannya. Hanya menjadi baying-bayang semua dalam cermin yang ia pasang dalam
benaknya sendiir.
Kini ia merasakan, bahwa sesuangguhnya ia masih
memiliki teman. Ia masih memiliki harapan utuk bisa bergaul, hanya saja selama
ini hati nuraninya belum memihak, sebagaimana angina takkan pernah tahu kemana
ia akan berhembus.
maaf kalau ada salah ketik, tapi boleh copas kok kalau suka ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar